Oleh: Subhan Purno Aji
Penyelenggaraan tahapan Pemilihan Serentak 2020 telah selesai. Sejumlah kekhawatiran menyeruak saat pemerintah bertekad tetap menyelenggarakan tahapan di tengah pandemi COVID-19. Tetapi berkat kerja sama seluruh pihak, pada akhirnya seluruh tahapan dapat terlaksana dengan sejumlah catatan.
Rabu (9-12-2020) menjadi sejarah baru. Untuk pertama kalinya pemungutan suara dilaksanakan dalam suasana yang tidak biasa, yakni pandemi COVID-19. Menurut Ketua KPU, Arif Budiman, ada perbedaan yang paling mencolok pada penyelenggaraan Pemilihan 2020, yakni KPU menyelenggarakan tahapan di era new normal. “Menerapkan protokol pencegahan penyebaran virus COVID-19 di setiap tahapan, jadi tidak hanya saat pemungutan penghitungan suara tapi di seluruh tahapan kita harus memperhatikan penerapan protokol kesehatan,” tandasnya saat menjadi pembicara pada diskusi “Evaluasi Cepat Pilkada 2020” yang diselenggarakan oleh Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM, Jumat (11-12-2020), secara daring.
Arif menguraikan, tidak hanya penerapan protokol kesehatan saja yang berbeda dari pelaksanaan Pemilu/Pemilihan sebelumnya, keterlibatan banyak pihak juga menjadi keharusan untuk mensukseskan gelaran Pilkada di masa pandemi ini. “(Pilkada) kali ini ada lebih banyak pihak yang kita libatkan. Ada BNPB, gugus tugas (Satgas), Kemenkes. Keterlibatannya jauh lebih intensif,” sambungnya.
Menyelenggarakan Pilkada di era pandemi memang menjadi tantangan seluruh pihak. Tidak hanya bagi KPU dan penyelenggara pemilihan lainnya, tetapi juga bagi peserta pemilihan dan pemilih. Bagi KPU, tentu saja ada banyak tekanan karena tidak saja harus menyelenggarakan pemilihan secara jujur dan adil, tetapi ada kewajiban agar penyelenggara, peserta dan pemilih selamat dan tidak tertular COVID-19.
Sementara bagi peserta, keharusan penerapan protokol kesehatan yang ketat menjadi tantangan yang tidak mudah. Sejak dari pencalonan, mereka diharuskan disiplin tidak menimbulkan kerumunan, tetap menjaga jarak dan menggunakan perangkat pelindung tubuh. Yang paling berat bagi mereka tentu saja adalah melaksanakan kampanye di tengah keterbatasan interaksi fisik dengan para pemilih. Padahal pada masa kampanye inilah peserta Pilkada dapat berinteraksi dengan para pemilih untuk mengenalkan visi, misi dan rekam-jejaknya.
Di sisi lain, bagi peserta dilema saat melakukan kampanye adalah apabila penerapan protokol kesehatan diabaikan, sanksi yang cukup berat siap-siap mereka terima jika terbukti melanggar protokol kesehatan. Efek positifnya, kita melihat banyak inovasi yang dapat dilakukan para kandidat dan tim suksesnya untuk menjangkau pemilih. Misalnya, intensitas penggunaan media sosial yang semakin meningkat dan penjangkauan kepada masyarakat pemilih tanpa ada kontak fisik dengan media-media yang tersedia.
Bagi pemilih, pelaksanaan pemilihan saat pandemi membatasi mereka untuk berpartisipasi dalam seluruh tahapan penyelenggaraan. Yang paling terasa adalah pembatasan kampanye. Di waktu normal, masa kampanye umumnya menjadi ajang pemilih mendapatkan informasi tentang kandidat yang akan dipilih. Keterbatasan interaksi fisik memaksa pemilih untuk mencari alternatif agar mereka memiliki pengetahuan tentang siapa yang akan dipilih.
Inovasi Yang Dilakukan
Kajian international IDEA, salah satu faktor yang menyebabkan di beberapa negara yang menyelenggarakan Pemilu di tengah pandemi memiliki partisipasi yang tinggi adalah adanya special voting arrangements (SVA’s), yakni langkah mitigasi khusus untuk memudahkan pemilih menggunakan hak pilih untuk menghindari penyebaran virus. Dilakukannya pemungutan suara melalui pos (postal vote), pemilihan pendahuluan (early voting) atau hak suara yang dapat diwakili (proxy voting) menjadi faktor penting masih tinggi angka partisipasi.
Meski regulasi tidak memungkinkan KPU melakukan inovasi-inovasi seperti negara-negara lain, tetapi KPU dengan keweangan yang dimilikinya melakukan terobosan untuk memudahkan penyaluran hak pilih dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Tujuannya, agar pemilih memiliki kepercayaan untuk datang ke TPS. Langkah-langkah itu, misalnya, KPU mengurangi jumlah TPS dari maksimum 800 menjadi hanya 500 pemilih saja. Penjadwalan penggunaan hak pilih juga dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kerumunan.
Hal itu dilakukan di Kabupaten Kebumen. Sebagi penyelenggara Pilkada 2020, KPU Kabupaten Kebumen menempuh langkah-langkah standarisasi teknis untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19. Antara lain, menambah jumlah TPS dari 2.250 menjadi 3.155 TPS. Pemenuhan kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD) juga salah satu aspek yang menjadi fokus KPU Kebumen agar pemilih nyaman dan aman saat menggunakan hak pilih. Prosedur-prosedur tambahan seperti cuci tangan sebelum masuk ke arena TPS, selalu menggunakan masker dan menjaga jarak juga terus menerus dilakukan. “KPU maksimal melakukan sosialisasi kepada masyarakat khususnya pemilih. Ini baik sosialisasi langsung maupun sosialisasi tidak langsung,”ujar Yulianto, Ketua KPU Kebumen seperti dikutip dari Harian Radar Banyumas edisi 7 Desember 2020.
Partisipasi
Aspek partisipasi menjadi penting dari sukses atau tidaknya sebuah Pemilu atau Pemilihan. Sebab, semakin tinggi partisipasi menjadi kunci kuatnya legitimasi hasil Pemilu atau Pemilihan. Para calon yang terpilih merasa percaya diri karena terpilih dengan dukungan publik yang luas. Sebaliknya, legitimasi hasil Pemilu atau Pemilihan dipertanyakan disebabkan karena rendahnya partisipasi pemilih.
Di masa pandemi tentu banyak pihak pesimis pemilih akan antusias datang ke TPS. Pesimisme itu cukup beralasan, mengingat para pemilih merasa takut untuk tertular COVID-19. Publik juga nampaknya teralihkan fokusnya pada isu-isu seputar COVID-19, sehingga nampaknya kurang menganggap penting kehadiran mereka di TPS.
Meski di masa pandemi, KPU tetap menargetkan 77,5% pemilih hadir dan menggunakan hak pilihnya di TPS. Langkah yang dilakukan oleh KPU agar pemilih tetap mau datang ke TPS adalah menyakinkan pemilih bahwa prosedur penggunakan hak pilih di TPS dilaksanakan secara ketat. Para petugas KPPS juga telah dipastikan bebas COVID-19.
Data yang disampaikan oleh KPU per tanggal 17 Desember 2020, persentase kahadiran pemilih mencapai 76,13% atau lebih tinggi dibandingakan dengan Pilkada 2015 yang hanya i 68%. Meski itu angka sementara mengingat ada beberapa KPU di daerah yang masih melaksanakan rekapitulasi, tetapi menunjukan pemilih masih antusias untuk datang ke TPS.
"Kami sampaikan ini data sementara ya karena rekap masih terus berlangsung sampai dengan nanti kalau selesai rekap di tingkat provinsi maka sudah tuntas 100 persen. Kita sudah simpulkan tingkat partisipasi berapa," kata Arief dalam Webinar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) bertajuk "Evaluasi Pilkada dan Catatan Perbaikan" Kamis (17/12/2020) seperti dikutip kompas.com edisi 17 Desember 2020.
Diapresiasi
Kekhawatiran-kekhawatiran bahwa Pilkada di masa pandemi akan memperburuk situasi pandemi nyatanya tidak terbukti. Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD, menilai masyarakat patuh pada penggunaan protokol kesehatan sehingga menurutnya belum ada laporan Pilkada menjadi kluster baru.
Mahfud pun memberikan apresiasi atas kepedulian masyarakat, baik yang setuju Pilkada ditunda maupun yang setuju Pilkada tetap dilaksanakan. Menurut mantan Ketua MK itu, suksesnya Pilkada di masa pandemi menjadi bukti bahwa masyarakat cinta terhadap bagsa.
"Saya ucapkan terimakasih kepada seluruh ormas-ormas, kepada LSM yang secara objektif mensyukuri keberhasilan Pilkada yang dulu dikhawatirkan bersama ini," ucapnya seperti dikutip dari okezone.com (14-12-2020).
Sementara itu, Abdul Gafar Karim menilai bahwa kesuksesan Pilkada 2020 karena dari awal para pihak telah memetakan potensi yang dapat memperburuk situasi. “Saya kira ini hal positif, karena kita lama cemas akan seperti apa pilkada kita. Ternyata setelah kita berpilkada betul, ternyata kita jauh lebih siap,” ujar akademisi Fisipol UGM ini saat menjadi narasumber “Evaluasi Cepat Pilkada 2020” yang diselenggarakan oleh Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM.
Apresiasi itu nampaknya menjadi cambuk agar kita semua terus berbenah menyiapkan penyelenggaraan Pemilu atau Pemilihan dalam situasi apapun. Justru karena dari awal banyak pihak yang menyangsikan pelaksanaan Pilkada di masa pandemi, penyelenggara Pemilu benar-benar menyiapkan diri dan memetakan tahapan mana yang paling rentan terjadi pelanggaran. Inilah pentingnya publik juga terus menjadi pemilih yang kritis pada setiap tahapan yang berpotensi menjadi kendala. Sebab, kritisisme pemilih menjadi obat yang mujarab untuk mengatasi potensi masalah yang muncul. (SPA)
Selengkapnya