Pastikan Anda Terdaftar Sebagai Pemilih melalui cekdptonline.kpu.go.id/ | Informasi Terkait Pelayanan Publik di KPU Kabupaten Banyumas dapat menghubungi Hotline 0895353323000 (WA Only)

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Membaca Kembali From Voting To Violence-Nya Jack Snyder: Dari Konflik Nasionalis Ke Populisme Kanan

Oleh: Subhan Purno Aji Meninjau buku lama untuk audien masa kini jelas menghadirkan tantangan tersendiri. Masalahnya, belum tentu isi buku sesuai dengan ruang dan waktu saat ini.  Inilah yang Saya rasakan ketika membaca ulang buku karya Jack Snyder (Snyder, 2003), “From Voting to Violece: Democratization and Nationalist Conflict”, yang versi bahasa Indonesianya menjadi “Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah” (Kepustakaan Populer Gramedia [KPG]: 2003). Karena ini buku lama, maka Saya dituntut harus punya sense untuk menangkap isi buku lalu mengkontekstualisasikannya dengan kondisi saat ini. Tujuannya agar para pembaca ‘ngeh’ dengan buku yang ditinjau, terlebih apabila ditulis untuk tujuan yang lebih populer bukan hanya untuk komunitas akademik. Salah Kaprah Demokrastisasi Menurut Saya yang paling penting dari buku Snyder ini adalah ia mewanti-wanti untuk jangan terburu-buru menerapkan demokratisasi di sebuah negara jika komponen-komponen lainnya tidak siap. Pengalaman munculnya apa yang ia disebut sebagai “konflik nasionalis”, yakni “kerusuhan besar-besaran yang terorganisasi yang didorong atau diabsahkan dengan doktrin nasionalisme” (hlm. 13), yang ditakutkan akan menggagalkan proyek demokratisasi yang tujuannya baik. Tema inilah yang dibahas oleh Snyder pada sebagaian besar isi buku ini. Dengan demikian, dalam keseluruhan buku ini Snyder ingin membantah anggapan yang banyak diamini oleh banyak orang, terutama setelah runtuhnya Uni Sovyet, bahwa demokrasi liberal adalah satu-satunya resep yang manjur atas semua problem pengaturan bernegara, dan bahwa demokrasi adalah pemenang atas segala ideologi dan dunia mendekati “akhir sejarah”. Menurut anggapan salah kaprah-kesalahan yang dinormalisasi terus menerus sehingga seolah sebagai kebenearan- itu, konflik dan peperangan, dengan demikian, akan usang dengan sendirinya. Sebab sesama negara demokrasi tak mungkin berperang. Akibatnya, muncul anggapan: “terapkan saja demokrasi, maka dengan sendirinya apa saja yang baik akan datang dengan sendirinya”. Celakanya, anggapan-anggapan keblinger itu menjadi dasar kebijakan dari banyak pemimpin negara besar dan lembaga-lembaga internasional. Resep standar, seperti dibukanya kran kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan jurdil, pembebasan tahanan politik, harus diterapkan di setiap negara yang mau beranjak ke demokrasi. Tak peduli karakter struktur sosial, politik, budaya dan historis yang berbeda-beda di setiap negara dan masyarakat, resep itu tetap harus diterapkan. Terbukti, kata Snyder, resep power sharing (pembagian kekuasaan) yang menjadi dasar kebijakan demokratisasi di Rwanda dan Burundi di awal 1990-an justru melahirkan bencana kemanusiaan tak terperikan (hlm. 343-355). Pemilu dan bahaya “Pasar Bebas Ide” Tesis Snyder sebenarnya sederhana. Hadir dan munculnya tuntutan demokratisasi tidak mungkin menyenangkan seluruh pihak. Menurut Snyder, elit yang terancam kehilangan hak-hak istimewa dan terutama sumber daya inilah menggunakan isu nasionalisme untuk menghadang demokrasi. Dalam posisi itu, Pemilu seperti membuka kotak pandora, yang entah menghasilkan transisi yang berhasil atau sebaliknya membawa sebuah negara ke jurang kehancuran. Di sana Pemilu dijadikan arena pasar bebas, termasuk digunakan oleh elit yang terancam akan kehilangan kuasa dan sumber daya. Dalam pasar bebas ide dalam Pemilu inilah isu-isu nasionalisme ekslusifis dapat berkembang dan bertemu dengan ceruk pasar pemilih yang sedang mencari sandaran nilai-nilai baru dalam tatanan demokrasi. Bila tak dikelola dengan baik, apa yang menjadi judul dari buku Snyder ini, Pemilu dapat berubah dari pemungutan suara menjadi pertumpahan darah dan perang saudara. Dalam konteks itu, elit yang masih memiliki sumber daya yang besar dapat menggunakan propaganda-propaganda nasionalisme eksklusif untuk membangkitkan sentimen-sentimen primordial seperti ras, agama, bahasa, sejarah sosial dan sejenisnya untuk menggalang kekuatan massa membendung tuntutan demokratisasi. Melalui doktrin-doktrin itu, mereka mendefinisikan tujuan agung kemana negara harus diarahkan sekaligus mengkambinghitamkan kelompok-kelompok sosial tertentu. Sialnya lagi, elit dapat saja membajak kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang baru saja dibuka dalam iklim demokratisasi. Mereka lihai menggunakan kesempatan itu karena memiliki modal dan kuasa yang masih besar. Dalam situasi demokratisasi yang kerap disusul situasi kolaps, labil, kritis dan paceklik ekonomi itu ‘penawaran’ ide-de nasionalisme eksklusif itu klop dengan ‘permintaan’ ide massa yang sedang butuh jawaban singkat dan masuk akal dari situasi yang serba-tak pasti itu. ‘Pasar bebas ide’ itulah yang diwanti-wanti oleh Snyder untuk dikelola dengan sangat baik. Populisme Kanan dan Kemunduran Demokrasi Temuan dan nasehat Snyder tentang bahaya munculnya konflik nasionalis dan jebakan-jebakan batman yang inhern dalam demokratisasi memang ditujukan kepada negara-negara yang sedang memulai fase transisi (baca: NSMD [Negara Sedang Menuju Demokrasi]). Tetapi jika melihat tren saat ini, nasehatnya tidak hanya cocok di NSMD tetapi juga cocok di negara-negara demokrasi mapan. Saat ini banyak di negara-negara yang dianggap kampiun demokrasi malah mengidap penyakit kronis, yaitu munculnya politisi demagogis yang kerap menyuarakan propagada-propaganda rasialis, ekslusifis, seksis, anti-globalisasi dan propaganda khas politisi kanan lainnya. Situasi itu setidaknya terjadi di Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Italia. Yang paling kentara jelas di Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump, yang kerap menggunakan retorika khas populis kanan dalam menggaet simpati Pemilih pada Pilres AS 2016 silam. Kampanye pembangunan perbatasan dengan Meksiko, Amerika Serikat yang utama, menjadi jualan yang laku selama masa kampanye yang membelah rakyat Amerika secara sangat tajam. Hal itu ditambah dengan penggunaan media sosial yang massif yang menghasilkan disinformasi akut. Orang tak lagi percaya dengan informasi yang diterima atau sebaliknya informasi apa saja diterima mentah-mentah tanpa verifikasi. Politisi model seperti itu kerap disebut sebagai politisi populis, yakni politisi yang menggunakan gaya dan langgam seolah mewakili ‘kami kebanyakan’ dari masyarakat dan umumnya diikuti dengan mempertentangkan  dengan ‘yang lain’. Karena yang digunakan adalah retorika dan seruan-seruan yang mewakili ‘yang banyak’ dari sisi apa saja (agama, ras, warna kulit, bahasa), maka cenderung mengikis nilai-nilai liberal yang menghormati keragaman, nilai-nilai kebebasan dan hak-hak sipil lainnya. Sialnya, inilah yang sedang menjadi tren dunia. Dengan retorika-retorika nativis (penonjolan keunggulan ras, dan ‘keaslian’ dan ‘keotentikan’ kelompok tertentu) pemimpin politik dapat memobilisasi pemilih saat kampanye. Dan akhirnya banyak pemimpin model inilah yang terpilih. Munculnya fenomena populisme di atas, tidak hanya diakibatkan dari krisis ekonomi yang menyebabkan keterpurukan ekonomi, tetapi juga dapat dianggap sebagai serangan balik budaya (cultural backlash) terhadap nilai-nilai, seperti multikulturalisme, kosmopolitanisme, feminisme yang menghormati keragaman dan nilai-nilai liberal lain (Norris & Inglehart, 2019). Pemilih yang sedang menghadapi kesusahan ekonomi akibat krisis, cenderung berlabuh pada nilai-nilai konservatif yang mereka anut, seperti keluhuran keluarga, nasionalisme, dan agama. Maka, kesempatan inilah yang digunakan politisi demagagois untuk meraih simpati dengan seruan-seruan khasnya. Selanjutnya banyak dari para populis kanan itu setelah terpilih, cenderung menyerang nilai-nilai dan lembaga-lembaga penyangga demokrasi. Maka, wajar jika secara global demokrasi sedang menghadapi serangan balik dari model populisme autoritarian ini. Mereka terpilih secara demokratis dalam Pemilu, tetapi menyerang balik lembaga-lembaga demokrasi. Sebagai akhir, memang terlalu jauh mengaitkan kekhawatiran Snyder dalam buku ini dengan munculnya populisme kanan yang cenderung otoritarian saat ini. Tetapi model propaganda yang digunakan dalam ‘pasar bebas ide’ cenderung serupa, yakni mengobarkan seruan-seruan eksklusif untuk menyerang kelompok-kelompok yang dicap ‘musuh’ masyarakat. Ini bisa berbahaya jika sampai pada eskalasi yang dapat menyulut konflik fisik. Bukan tidak mungkin fenomena politik populisme kanan akan mengulang sejarah konflik yang sebenarnya berakar pada primordialisme, sama seperti apa yang disebut Snyder sebagai nasionalisme eksklusif. (SPA) Daftar Pustaka Norris, P., & Inglehart, R. (2019). Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism. Cambridge University Press. Snyder, J. (2003). Dari Pemilu ke Pertumpahan Darah: Demokrasi dan Konflik Nasionalis. KPG.

PERLUKAH PERINGATAN HARI DAN TANGGAL PENTING BAGI KPU?

Oleh: Subhan Purno Aji      Mungkin banyak yang bertanya, adakah tanggal tertentu yang dirayakan KPU setiap tahunnya?. Sependek pengetahuan penulis, jawabannya tidak ada atau belum ada. Penyelenggara Pemilu lain, seperti Bawaslu dan DKPP, telah menetapkan hari tertentu untuk diperingati. Mereka memeringati tanggal yang ditetapkan sebagai hari lahir kelembagaan. Bawaslu menetapkan tanggal 9 April 2008 sebagai hari lahir, karena menurut UU 22 Tahun 2007 Bawaslu RI ditetapkan sebagai lembaga permanan. Sama seperti Bawaslu, DKPP juga telah menetapkan tanggal 12 Juni 2012 sebagai hari lahir.        Umumnya, sebuah lembaga menetapkan hari tertentu untuk merayakan atau memperingati peristiwa yang dianggap penting sebagai penegasan pencapaian visi yang hendak dicapai. Kebanyakan memang menetapkan tanggal kelahiran sebagai tanggal penting. Tetapi beberapa lembaga dan kementerian menetapkan tanggal tertentu di luar tanggal kelahiran. Hari dan tanggal yang dianggap sebagai pencapaian luar biasa dalam rentang sejarah lembaga juga banyak ditetapkan sebagai hari dan tanggal penting. Tetapi yang pasti, hari kelahiran atau peristiwa tertentu diperingati sebagai pengingat atas pencapaian yang telah diperoleh atau perjuangan yang luar biasa dari insan yang berada di organisasi itu sehingga patut untuk diperingati dan/atau dirayakan. Mereka beranggapan penetapan hari penting sebuah lembaga dapat menjadi motivasi secara internal untuk memicu kinerja demi pencapaian tujuan organisasi. Secara eksternal, penetapan tanggal penting juga dianggap sebagai penanda eksistensi sekaligus menebalkan identitas lembaga. Pertanyaanya, bagi KPU peristiwa apa yang patut dan layak dijadikan sebagai pengingat kolektif dan oleh karenanya wajib dirayakan atau diperingati?. Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita lihat beberapa kementerian dan lembaga yang terlebih dahulu menetapkan peristiwa dan tanggal penting. Kementerian Luar Negeri Tanggal 19 Agustus 1945 diperingati sebagai hari lahir Departemen (sekarang Kementerian) Luar Negeri karena saat itu pertama kali ditunjuk seorang Menteri Luar Negeri. Sekarang setiap tanggal 19 Agustus Departemen Luar Negeri memperingatinya dengan kegiatan-kegiatan seremonial dan kegiatan lain. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kementerian PUPR memperingati tanggal 3 Desember sebagai hari Bhakti PU. Pasalnya pada 3 Desember 1945, sebanyak 21 pegawai PU bertugas menjaga gedung Departemen PU di Bandung yang sekarang bernama Gedung Sate dari serangan pasukan sekutu. Tujuh orang pegawai PU gugur dalam peristiwa itu. Kejaksaan RI Setiap tanggal 22 Juli memperingati Hari Bhakti Kejaksaan. Tanggal 22 Juli 1960 merupakan saat pemisahan Departemen Kejaksaan dari Departemen Kehakiman seperti tertuang dalam Surat Keputusan Presiden RI 1 Agustus 1960 No. 204/1960, yang kemudian disahkan menjadi UU. No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) KPK menjadikan tanggal 9 Desember yang sudah diperingati sebagai Hari Anti-Korupsi Sedunia sebagai hari penting. Setiap tahun KPK memperingati dengan beraneka kegiatan yang mendukung tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Mahkamah Konstitusi (MK) Mahkamah Konstitusi memperingati tanggal 13 Agustus 2003 sebagai hari ulang tahun karena tepat pada hari itu tahun 2003 DPR dan Pemerintah menyepakati RUU Mahkamah Konstitusi menjadi UU. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Bawaslu memperingati hari ulang tahunnya setiap tanggal 9 April. Tanggal 9 April 2008 merupakan tanggal pelantikan anggota Bawaslu yang menurut UU Nomor 22 tahun 2007 menjadi lembaga permanen olehn Hakim Agung Mansyur Kartayasa.   Jika memang KPU akan menetapkan hari dan tanggal penting, di bawah ini dapat menjadi pertimbangan : Mengikuti Hari Yang Telah Ditetapkan Secara Internasional/Nasional KPU dapat menjadikan tanggal 15 September sebagai hari penting yang patut untuk diperingati. Sebab ditanggal itu PBB melalui Sidang Umum tahun 2007 diputuskan tanggal 15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional (International Day of Democracy). Tujuannya  untuk mempromosikan dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan mengundang semua negara anggota dan organisasi untuk memperingati hari itu dengan cara yang tepat yang berkontribusi pada kesadaran publik. Tanggal 15 September dipilih karena dilatar belakangi oleh peristiwa deklarasi Universal Declaration on Democracy oleh Inter-Parliamentary Council (IPU) yang terdiri dari 193 negara di Kairo, Mesir pada 15 September 1997. Peringatan Hari Demokrasi Internasional menjadi spirit dunia bahwa suara warga negara harus didengar, kebebasan harus dijamin dan martabat manusia harus dihormati. Nilai-nilai itu ada dalam demokrasi. Maka, memperingati 15 September menjadi semangat bahwa nilai-nilai demokrasi harus ditegakan. Pilar-pilar pemerintahan demokratis salah satunya dilaksanakan melalui Pemilu. Kelemahan dan kelebihan tanggal 15 September (Hari Demokrasi Internasional) : Kelemahan Kelebihan Masih asing karena jarang yang mengetahui 15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional Karena masih bersifat umum agak sulit untuk mengerucutkan “demokrasi internasional” dengan Pemilu atau Penyelenggara Pemilu Sudah ada tanggal yang telah diperingati setiap tahun Tanggal 15 September dapat menjadi spirit bahwa Pemilu merupakan bagian dari penguatan pemerintahan demokrastis Dapat menjadi pengingat publik tentang pentingnya Pemilu dalam negara demokratis Ikut dirayakan oleh masyarakat dunia   Menetapkan Hari Bersejarah Untuk Memperingati Peristiwa Tertentu KPU dapat menetapkan tanggal pertama kali Pemilu diselenggarakan sejak runtuhnya Orde Baru, yakni 7 Juni 1999. Pemilu ini merupakan tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Pemilu tidak saja menandai keterputusan Indonesia dari masa otoritarianisme, tetapi menjadi pembuka jalan bagi pemerintahan demokratis selanjutnya. Pemilu ini juga menjadi kebanggan masyarakat Indonesia berhasil keluar dari masa transisi yang saat itu diragukan akan berjalan demokratis dan damai oleh para pengamat. Pemilihan tanggal 7 Juni juga relevan dengan core business KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Sebab, pemilu itu berhasil diselenggarakan oleh KPU pertama yang dibentuk secara demokratis. KPU dapat menjadikan tanggal itu sebai Hari Kedaulatan Rakyat Indonesia (dapat disingkat HAKRI) alasannya Pemilu 1999 dapat dikatakan sebagai ekspresi kedaulatan rakyat seutuhnya setelah terbelenggu oleh rezim otoriter, baik Orde Lama maupun Orde Baru.   Kelemahan Kelebihan Menyisakan persoalan atas kontroversi Pemilu 1999 KPU tidak dapat secara bulat menetapkan hasil Pemilu   Relevan dengan tugas pokok dan fungsi KPU sebagai penyelenggara Pemilu bahwa KPU lahir karena dorongan reformasi dan berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pasca Orde Baru.   Menetapkan Hari Lahir KPU Pada dasarnya yang paling patut untuk dijadikan hari penting dalam sejarah KPU adalah hari dimana KPU lahir. Masalahnya, agak sulit untuk menentukan kapan KPU lahir. Pasalnya, KPU berubah secara evolutif dan karenanya untuk menandai momen kelahiran yang penting sekaligus menjadi titik-balik yang penting dalam perjalanan sejarah KPU agak sulit untuk dilakukan. Di bawah ini ada beberapa momen yang dapat dijadikan sebagai hari/tanggal kelahiran KPU. 11 Maret 1999 Tanggal 11 Maret 1999 adalah pelantikan anggota KPU oleh Presiden Habibie dilakukan di Istana Negara. KPU ini dibentuk dengan dasar UU Nomor 3 tahun 1999 Tentang Pemilu melalui Kepres Nomor 77/M/1999 (anggota-anggota), Nomor 78/M/1999 (Sekretaris Umum dan Wakil Sekretaris Umum) dan Nomor 79/M/1999 (Ketua dan Wakil Ketua). Kelemahan penetapan tanggal 11 Maret 1999 karena meski sudah bernama KPU, tugas kewenangannya terbagi dengan PPI (Panitia Pemilihan Indonesia), sehingga KPU bukan organ penuh yang melaksanakan penyelenggaraan tahapan Pemilu. Selain itu, keanggotaan KPU juga masih diisi oleh partai politik dan wakil-wakil dari pemerintah, maka akan sulit untuk dapat mengatakan KPU saat itu sebagai KPU yang independen, dan mandiri. Kontroversi tidak bulatnya KPU saat itu dalam menetapkan hasil Pemilu yang akhirnya diambil alih oleh Presiden Habibie juga menjadi catatan tersendiri jika akan menetapkan tanggal pelantikan KPU pertama setelah Orde Baru sebagai hari lahir KPU. 11 April 2001 KPU periode 2001-2007 dilantik pada tanggal 11 April 2001 oleh Presiden Abdurahman Wahid melalui Kepres Nomor 10 Tahun 2001. KPU ini dapat dipilih menjadi alternatif untuk hari lahir KPU karena KPU pada periode ini adalah KPU yang beranggotakan non-partisan. 9 November 2001 Tanggal 9 dapat dijadikan sebagai tanggal kelahiran KPU sebab tanggal itu merupakan penetapan amandemen ketiga UUD 1945 dimana pasal 22E termasuk hasil amandemen ketiga tersebut. Pasal 22E ayat (5) menjadi dasar penyelenggara Pemilu bagi KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Tanggal ini bersejarah karena KPU memiliki dasar yang kuat setelah penetapan amandemen ketiga UUD 1945, maka tanggal ini dapat dijadikan sebagai tanggal penting dan tonggak bersejarah bagi KPU yang memiliki dasar konstitusional.   Mungkin itu dapat menjadi pertimbangan jika KPU akan menetapkan hari dan tanggal tertentu sebagai tanggal penting.

Evaluasi Beban Kerja Badan Adhoc Pemilu dan Pemilihan 2024

Oleh : Dwi Rindra T Beban kerja badan adhoc Pemilu merupakan gabungan antara persepsi seberapa berat tugas-tugas badan adhoc dan seberapa banyak resources dan waktu yang tersedia untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut. Berbeda dari pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019 maupun Pemilihan Serentak Tahun 2020, pembentukan badan adhoc Pemilu/Pemilihan Tahun 2024 tidak lagi didasarkan pada regulasi Peraturan KPU (PKPU) No. 3 Tahun 2015 untuk badan adhoc Penyelenggara Pemilihan dan PKPU No. 3 Tahun 2018 untuk badan adhoc Penyelenggara Pemilu. Pembentukan badan adhoc Pemilu/Pemilihan Tahun 2024 didasarkan pada PKPU No. 8 Tahun 2022 yang merupakan hasil evaluasi terhadap regulasi sebelumnya. Selain hasil evaluasi, regulasi terbaru merupakan kodifikasi dari regulasi sebelumnya yang memisahkan antara badan adhoc Penyelenggara Pemilu dengan badan adhoc Penyelenggara Pemilihan. Kodifikasi regulasi menjadi penting untuk menyederhanakan dan menyerasikan regulasi dan mempermudah penguasaan regulasi tersebut. Hasil evaluasi ini dapat terlihat nyata misalnya pada penurunan angka kasus badan adhoc yang sakit dan meninggal dunia pada badan adhoc. Pada Pemilu Tahun 2019, kasus badan adhoc meninggal secara nasional menyentuh angka yang dramatis, yang memicu respons masyarakat luas akan buruknya manajemen SDM kepemiluan kita. Jumlah badan adhoc yang sakit dan meninggal serta mendapatkan santunan kecelakaan kerja pada Pemilu 2019, berdasarkan data Kemenkeu adalah sebanyak 798 orang yang sakit dan 722 orang yang meninggal. Sementara pada Pemilu 2024, angka kasus meninggal menurun pada jumlah 181 orang, meskipun angka kasus sakit meningkat drastis pada jumlah 4.770 orang. Pada Pemilihan 2024, sejumlah 183 orang meninggal dan 479 orang sakit. Angka kasus pada Pemilihan 2024 semakin menunjukkan angka yang positif, meskipun belum dapat dikatakan yang terbaik. Namun, kita patut bersyukur dengan hasil yang dicapai ini, yang menunjukkan keseriusan KPU dalam mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2019 yang menyedihkan. Pada gilirannya, kita seharusnya tidak berpuas diri atas capaian saat ini. Evaluasi masih perlu dilakukan untuk mengambil pembelajaran yang sudah berjalan baik serta memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi. Apakah beban kerja badan adhoc Pemilu sudah sesuai dengan kompetensi dan kapasitas SDM badan adhoc yang dibentuk?   Beban Kerja Badan Adhoc Pemilu dan Pemilihan 2024 Badan adhoc Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan merupakan Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan yang bersifat adhoc yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota di tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dan TPS. Badan adhoc di tingkat kecamatan adalah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), di tingkat desa/kelurahan adalah Panitia Pemungutan Suara (PPS), di tingkat TPS adalah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) bersama Petugas Ketertiban TPS, serta Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) yang dibentuk berdasarkan TPS. Skala Beban Kerja Badan Adhoc Beban kerja dapat dipahami sebagai suatu persepsi bagaimana banyaknya tugas-tugas yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu dan menggunakan sumber daya (resources) tertentu. Dalam hal ini, jangka waktu untuk menyelesaikan tugas badan adhoc telah ditetapkan dalam Undang-undang dan PKPU yang mengatur tentang jadwal tahapan Pemilu. Tugas utama PPK dan PPS lebih pada tahapan pembentukan badan adhoc, penyusunan daftar pemilih, distribusi logistik Pemilu, dan rekap hasil Pemilu. Sementara tugas lainnya lebih bersifat fasilitatif dan dukungan, seperti fasilitasi kampanye, fasilitasi pemungutan dan penghitungan suara oleh KPPS, dan sosialisasi Pemilu. Tugas-tugas ini merupakan pekerjaan yang memiliki tenggat waktu yang cukup panjang, yakni dikerjakan dalam jangka lebih dari 1 (satu) hari. Dukungan resources PPK dan PPS, baik SDM, anggaran, maupun resources lainnya, sudah cukup untuk mendukung pelaksanaan tugas. Tugas Pantarlih lebih fokus pada 1 (satu) pokok pekerjaan, yakni pemutakhiran data Pemilih, dengan jangka waktu pengerjaan sekitar 1 (satu) bulan. Dukungan resources Pantarlih sudah cukup memadai, contohnya alat kerja yang telah disediakan dan Pantarlih tinggal melaksanakan. Tugas KPPS merupakan pekerjaan badan adhoc yang paling berat. Dalam masa kerja 1 (satu) bulan, biasanya waktu ini terbagi dalam 4 (empat) masa pekerjaan, yakni masa Bimtek di Minggu I, masa penyebaran formulir pemberitahuan/undangan Pemilih di Minggu I dan Minggu II, dan masa pemungutan dan penghitungan suara yang merupakan puncak pekerjaan KPPS. Minggu terakhir KPPS bertugas untuk menyelesaikan laporan administratif dan keuangan. Masa Bimtek merupakan masa persiapan yang tidak banyak menguras sumber daya KPPS. Masa undangan Pemilih mulai menguras energi dengan pekerjaan manual tulisan tangan dan keliling dari rumah ke rumah dalam waktu biasanya 2 (dua) minggu. Masa puncak yang paling sibuk adalah saat penyiapan TPS dan pengamanan logistik TPS yang dilakukan pada H-1 pemungutan suara hingga pelaksanaan hari pemungutan suara dan penghitungan hasil perolehan suara, yang dapat berjalan selama 36 (tiga puluh enam) jam tanpa henti (rapat pemungutan suara dimulai pukul 7.00 serta penghitungan suara dilakukan paling lambat hingga pukul 23.59 dan dapat diperpanjang hingga 12 (dua belas) jam). Dengan demikian, masa puncak KPPS ini berjalan selama 3 (tiga) hari berturut-turut tanpa henti atau 54 (lima puluh empat) jam tanpa henti. Jika dibuat skala beban kerja badan adhoc, maka beban kerja paling mudah adalah sebagai Pantarlih, dimana resources Pantarlih sangat memadai dan tugas yang tunggal untuk melaksanakan coklit. Beban kerja PPK dan PPS berada pada skala sedang, dimana tugas-tugasnya yang membutuhkan waktu yang panjang namun didukung resources yang cukup. Beban kerja KPPS berada pada skala yang berat, bahkan sangat berat, jika mengingat tekanan politik dan jam kerja yang tanpa henti pada masa penghitungan suara. Faktor yang Membebani Terdapat beberapa faktor lain yang menjadikan tugas badan adhoc Pemilu dan Pemilihan lebih berat, yakni banyaknya jenis Pemilu dan Pemilihan yang dilaksanakan secara serentak, kerawanan Pemilu dan Pemilihan yang menuntut ketelitian dan kecermatan badan adhoc, tekanan Politik baik secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi suasana kebatinan badan adhoc, dan keterbatasan waktu untuk menyelesaikan seluruh tahapan Pemilu dan Pemilihan dengan sebaik-baiknya. Keserentakan Pemilu/Pemilihan Format keserentakan Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024 menghasilkan Pemilu 5 Kotak Suara yang sangat berat, dan Pemilihan 2 Kotak Suara yang jauh lebih ringan. Pemilu 5 Kotak sangat berat karena memaksa jam kerja badan adhoc yang sangat panjang. Tuntutan Ketelitian dan Kecermatan Walau dalam waktu yang melelahkan, badan adhoc tetap dituntut untuk senantiasa teliti dan cermat dalam melakukan setiap tugasnya dalam seluruh jenis Pemilu, yang seringkali dilakukan saat larut malam dan dalam kondisi tubuh yang tidak dapat lagi fokus. Tekanan Politik Di sela-sela kesibukan tugasnya, tidak jarang perwakilan/saksi peserta Pemilu masih mengajukan keberatan kepada badan adhoc. Tentu saja, hal ini semakin memberikan tekanan tambahan kepada badan adhoc. Waktu Terbatas Ada idiom yang cukup populer di kalangan Penyelenggara Pemilu, bahwa 24 jam dalam sehari rasanya tidak cukup untuk menyelesaikan seluruh tugas-tugas kepemiluan yang dituntut dapat diselesaikan tepat waktu sesuai jadwal. Hal ini terjadi pula di badan adhoc. Refleksi Pemilu 2019 dan Pemilihan 2020 Persyaratan Badan Adhoc Dalam regulasi pembentukan badan adhoc Pemilu 2019 (PKPU No. 3 Tahun 2018 diubah dengan PKPU No. 36 Tahun 2018), persyaratan badan adhoc secara umum ditujukan untuk mencari SDM badan adhoc yang berintegritas dan bebas dari konflik kepentingan. Kompetensi dan kapasitas SDM badan adhoc belum diperhatikan dengan serius. Hal ini tampak pada 2 (dua) hal, yakni alternatif persyaratan pendidikan dapat diganti dengan kemampuan dan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung (calistung), dan alternatif persyaratan kesehatan yang dibuktikan dengan surat keterangan kesehatan dari puskesmas, alih-alih rumah sakit. Regulasi persyaratan yang serupa masih diterapkan dalam Pemilihan 2020 (PKPU No. 3 Tahun 2015 dibuah dengan PKPU No. 12 dan 13 Tahun 2017). Namun terdapat perbedaan pada persyaratan usia dan kesehatan Pantarlih dan KPPS. Pada Pemilihan 2020, dimana pandemi Covid-19 sedang melanda, Pantarlih dan KPPS dipersyaratkan berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun dan paling tinggi 50 (lima puluh) tahun, serta tidak memiliki penyakit penyerta/komorbiditas (PKPU No. 6 Tahun 2020 diubah dengan PKPU No. 10 dan 13 Tahun 2020). Meskipun ketentuan ini dibuat bukan sebagai evaluasi Pemilu 2019, melainkan sebagai respons atas kejadian bencana nonalam Covid-19, namun hal ini merupakan langkah baik dalam perbaikan manajemen SDM badan adhoc. Dalam regulasi pembentukan badan adhoc Pemilu 2019 dan Pemilihan 2020, tampaknya KPU pesimis terhadap antusiasme para pendaftar badan adhoc saat seleksi dilakukan secara terbuka, sehingga perlu menetapkan ekspektasi yang rendah terhadap kompetensi dan kapasitas SDM badan adhoc. Atau barangkali KPU menyadari bahwa badan adhoc seringkali minim regenerasi sehingga tidak berharap banyak kepada atensi para pendaftar non pengalaman kepemiluan. Kasus Kecelakaan Kerja Badan Adhoc Jumlah badan adhoc yang sakit dan meninggal serta mendapatkan santunan kecelakaan kerja pada Pemilu 2019, berdasarkan data Kemenkeu adalah sebanyak 798 orang yang sakit dan 722 orang yang meninggal. Dari jumlah tersebut, dapat dirinci sebagai berikut: No Badan Adhoc Jumlah Sakit Jumlah Mening gal Jumlah 1. PPK 63 21 84 2. PPS 128 74 202 3. KPPS 546 414 960 4. Linmas 61 213 274   Total 798 722 1520 Sementara itu, jumlah kasus kecelakaan kerja badan adhoc pada Pemilihan 2020 mengalami penurunan. Penurunan kasus disebabkan adanya perbaikan regulasi persyaratan Pantarlih dan KPPS terkait dengan kondisi pandemi Covid-19 dan beban kerja Pemilihan 2020 yang umumnya hanya 1 Kotak Suara. Menurut data KPU, tercatat jumlah kasus meninggal sebanyak 117 orang dan kasus sakit 153 orang. Pada pelaksanaan Pemilu Tahun 2024, angka kasus kecelakaan tetap besar, namun angka kasus meninggal menunjukkan pengurangan jumlah kasus. Terdapat 181 orang yang meninggal, angka ini menurun dibandingkan Pemilu 2019. Namun angka sakit meningkat tajam pada jumlah 4.773 orang yang sakit. Jumlah ini mungkin disebabkan oleh beban kerja yang sangat berat dan adanya SDM baru yang membutuhkan waktu lebih dalam memahami proses dan substansi pekerjaan yang berpengaruh ke kesehatannya. Berikut rincian data badan adhoc Pemilu 2024 yang mengalami kecelakaan kerja: No Badan Adhoc Jumlah Sakit Jumlah Mening gal Jumlah 1. PPK 166 6 172 2. PPS 786 23 809 3. KPPS dan Linmas 3.821 152 3.973   Total 4.773 181 4.954 Pada Pemilihan 2024, angka ini mengalami tren yang positif dengan jumlah badan adhoc yang meninggal sejumlah 183 orang dan yang sakit sebanyak 479 orang. Faktor yang Mendukung Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan evaluasi manajemen SDM badan adhoc Pemilu dan Pemilihan 2024 adalah adanya perubahan dalam regulasi persyaratan badan adhoc Pemilu dan Pemilihan 2024, pemberian bimtek kepada badan adhoc dengan metode training of trainers, penggunaan teknologi informasi pada seluruh tahapan Pemilu dan Pemilihan, serta peningkatan jumlah honorarium badan adhoc. Perbaikan Regulasi Berdasarkan ketentuan Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40, dan Pasal 52 PKPU No. 22 Tahun 2022, pembentukan PPK, PPS, KPPS, dan Pantarlih dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon badan adhoc. Kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian badan adhoc  selanjutnya berusaha dimanifestasikan ke dalam persyaratan badan adhoc pada Pasal 35. Ketentuan terbaru mengenai batas usia badan adhoc dituangkan dalam Pasal 35 ayat (2), yang berbunyi “Persyaratan usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk KPPS mempertimbangkan dalam rentang usia 17 (tujuh belas) sampai dengan 55 (lima puluh lima) tahun, terhitung pada hari pemungutan suara Pemilu atau Pemilihan.” Penjelasan persyaratan-persyaratan ini dirinci dalam Keputusan KPU Nomor 534 Tahun 2022 sebagai berikut: Menggunakan teknologi informasi SIPOL dan SIAKBA untuk verifikasi data keanggotaan Partai Politik calon badan adhoc, untuk menilai kemandirian Mengutamakan calon badan adhoc yang tidak memiliki penyakit penyerta (komorbiditas) atau tidak memiliki riwayat penyakit: hipertensi, diabetes meilitus, tuberkulosis, stroke, kanker, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit hati, penyakit paru, dan penyakit imun Surat keterangan kesehatan dari rumah sakit, puskesmas, atau klinik mencantumkan atau dilampiri hasil pemeriksaan tensi darah, kadar gula darah, dan kolesterol Alternatif kapasitas pendidikan dengan calon badan adhoc yang mampu Calistung masih diberlakukan Terlihat bahwa regulasi terbaru mengedepankan SDM badan adhoc yang memiliki kondisi kesehatan yang prima untuk menghadapi tugas-tugas Pemilu yang tidak mudah. Selain itu, persyaratan batas usia KPPS telah mendorong pembentukan badan adhoc diisi oleh generasi muda, bukan lagi generasi tua yang tidak hanya rawan dalam hal kesehatan, namun juga memiliki kecenderungan tidak adaptif terhadap perubahan regulasi dan penggunaan teknologi informasi. Bimtek Badan Adhoc Bimtek dilaksanakan untuk meningkatkan kapasitas badan adhoc dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Bimtek dilakukan dengan metode training of trainers (ToT), dengan pemberian modul pelatihan yang jelas dan mudah dipahami. Frekuensi pemberian bimtek dan ToT kepada badan adhoc akan sangat berpengaruh terhadap kompetensi badan adhoc dalam melaksanakan tugasnya dengan efektif. Penggunaan Teknologi Sistem informasi digunakan di seluruh tahapan Pemilu dan Pemilihan, terutama yang berkaitan langsung dengan tugas KPPS adalah SIREKAP. Penggunaan SIREKAP dalam pemungutan dan penghitungan suara di TPS membantu meringankan tugas badan adhoc dalam rekap hasil Pemilu dan Pemilihan. Lebih lanjut, SIREKAP dirancang untuk menghasilkan dokumen digital salinan berita acara dan sertifikat penghitungan hasil perolehan suara. KPPS tidak lagi mengerjakan tugas yang melelahkan untuk menyalin berita acara dan sertifikat secara manual dengan tulisan tangan sebanyak jenis Pemilu dikalikan jumlah peserta Pemilu. Pada Pemilu dan Pemilihan 2024, salinan diberikan kepada peserta Pemilu dalam bentuk dokumen digital atau hasil penggandaan dengan mesin pengg

Pengunduran Diri Caleg Terpilih

Oleh : Dwi Rindra T, S.I.P. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 176/PUU-XXII/2024: Upaya penguatan sistem Pemilu proporsional terbuka Sistem Pemilu yang digunakan di berbagai negara di dunia beragam macamnya seperti dijelaskan dalam buku Perihal Pemilu (Pamungkas, Sigit, Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2009). Setidaknya terdapat 4 (empat) kelompok besar sistem Pemilu, yakni sistem pluralitas/mayoritas atau biasa disebut juga sistem distrik, sistem proporsional, sistem campuran, dan sistem lainnya (yang tidak termasuk ke dalam ketiga kelompok sistem lainnya). Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya, serta rasionalitasnya tersendiri untuk diterapkan dalam suatu Pemilu oleh suatu negara tertentu. Apakah suatu negara lebih mengedepankan tingkat proporsionalitas representasi, atau bagaimana sistem kepartaian yang akan terbentuk dari sistem Pemilu tersebut, bagaimana format kabinet yang akan dibentuk, dan sebagainya. Indonesia telah memilih sistem Pemilu legislatif untuk mengedepankan tingkat proporsionalitas representasi antar Partai Politik dalam parlemen. Hal ini jelas tertulis dalam regulasi, yakni ketentuan Pasal 168 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.” Lebih lanjut, metode untuk menentukan perolehan kursi Partai Politik menggunakan teknik Sainte Lague, sebagaimana bunyi Pasal 415 ayat (2) dan ayat (3), ‘(2) Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganji 3; 5; 7; dan seterusnya. (3) Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, suara sah setiap partai politik dibagi dengan bilangan pembag 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kita ingin membentuk parlemen, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang dapat merepresentasikan seluruh kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat, melalui Partai Politik, sekecil apapun perolehan suaranya. Sistem Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka Sistem proporsional yang mengedepankan terbentuknya parlemen yang representatif akan seluruh kepentingan, diterapkan dengan daftar calon terbuka. Ini berarti Pemilih dapat memilih secara langsung calon anggota legislatif yang merepresentasikannya di parlemen. Pemilih masih dapat memilih Partai Politik, dan metode penghitungan perolehan kursi masih menggunakan perolehan suara Partai Politik, namun metode penentuan calon terpilih tidak ditentukan oleh Partai Politik melainkan berdasarkan peringkat perolehan suara calon. Jika hendak dibandingkan, sistem ini tentu saja berbeda dengan Pemilu-pemilu masa Orde Baru maupun Pemilu 1999. Pemilu-pemilu pada masa Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) menggunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar mengikat (proporsional tertutup). Dalam sistem ini, Pemilih tidak dapat memilih calon secara langsung, melainkan memilih Partai Politik (pada saat itu disebut organisasi sosial politik). Penentuan perolehan kursi Partai Politik di parlemen ditentuan berdasarkan perolehan suara Partai Politik, namun penentuan calon terpilih dilakukan oleh mekanisme internal Partai Politik berdasarkan daftar calon yang telah diurutkan berdasarkan penilaian Partai Politik (melalui penelitian khusus/litsus). Idealnya, Partai Politik menentukan urutan daftar calon dengan melihat prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela (PDLT), namun hal ini tidak selalu terjadi. Prakteknya, mekanisme litsus lebih merupakan jaring untuk calon loyalis Orde Baru. Berbeda lagi dalam Pemilu 1999. Dalam Pemilu 1999, sistem Pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional dengan stelsel daftar. Dalam sistem ini, Pemilih masih hanya memilih Partai Politik, bukan memilih calon, namun daftar calon diumumkan secara terbuka di setiap TPS. Metode untuk menentukan perolehan kursi Partai Politik masih berdasarkan perolehan suara, namun penentuan calon terpilih tidak lagi berdasarkan nomor urut dalam daftar calon. Penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan perolehan suara Partai Politik pada daerah pemilihan dimana calon didaftarkan. Artinya, seorang calon dapat terpilih meskipun berada pada urutan bawah dalam daftar calon, jika di Dapilnya memperoleh suara besar dibandingkan perolehan suara di Dapil lain. Sistem Pemilu 1999 dapat disebut sebagai semi-terbuka karena tidak lagi ditentukan melalui litsus Partai Politik, namun juga tidak secara langsung ditentukan oleh Pemilih. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem proporsional terbuka yang digunakan pada Pemilu 2004 hingga Pemilu terakhir merupakan hasil evaluasi dari Pemilu 1999, sehingga Pemilih dapat langsung memilih calon dan penentuan calon terpilih langsung terkait dengan perolehan suaranya. Dengan sistem ini, suara Pemilih secara langsung direpresentasikan kepada calon legislatif yang dipilih. Partai Politik, pada taraf tertentu, tidak dapat menentukan siapa yang akan menjadi anggota legislatif. Meskipun pada sistem proporsional terbuka tidak lagi mampu merepresentasikan suara Partai Politik kecil, namun pada prakteknya terjadi penyederhanaan terhadap kerumitan teknis dan substantif yang ada pada stembus accord. Pengunduran Diri Caleg Terpilih sebagai Kontradiksi Prinsip Terbuka Tidak ada metode penentuan calon terpilih yang paling baik, apakah daftar tertutup maupun daftar terbuka, masing-masing memiliki rasionalitasnya. Sistem stelsel daftar mengikat (proporsionalitas tertutup) lebih memudahkan Partai Politik dalam mengelola kaderisasi. Namun di sisi lain, kewenangan Partai Politik yang terlalu besar dalam menentukan calon terpilih menjadi pisau bermata dua. Sistem stelsel daftar memperkuat hubungan antara legislatif dengan konstituennya, meskipun tidak cukup kuat. Sistem daftar terbuka memungkinkan Pemilih untuk memberikan preferensi politiknya terhadap calon tertentu, sehingga calon terpilih langsung merepresentasikan konstituennya. Perjalanan panjang Pemilu kita, sejak Pemilu pertama 1955, Pemilu masa Orde Baru, hingga Pemilu terakhir saat ini, telah memberikan banyak evaluasi hingga saat ini kita memilih sistem proporsional terbuka. Secara implisit, kita ingin membentuk parlemen yang lebih dekat dengan kepentingan konstituen daripada kepentingan Partai Politik. Bahkan, Mahkamah Konstitusi beberapa kali memutuskan bahwa sistem Pemilu yang konstitusional adalah sistem proporsional terbuka yang menegaskan hubungan konstituen dengan wakilnya sebagai kedaulatan rakyat (Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022). Pengunduran diri caleg terpilih diatur dalam ketentuan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, yang berbunyi, “Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan mengundurkan diri.” Secara faktual, pada Pemilu 2024, terdapat beberapa kasus pengunduran caleg terpilih, antara lain: No Nama Caleg Terpilih Daerah Pemilihan Partai Politik   Ratu Ngadu Bonu Wulla Dapil NTT II Partai NasDem   Sri Rahayu dan Arteria Dahlan Dapil Jatim VI Partai PDIP   Akhmad Ridwan Dapil Jateng 13 Partai PDIP   Syamsuar Dapil Riau I Partai Golkar   Abdul Wahid Dapil Riau II Partai PKB   Airin Rachmi Diany Dapil Banten III Partai Golkar   Dedi Mulyadi Dapil Jabar VII Partai Gerindra   Ahmad Syaikhu Dapil Jabar VII Partai PKS   Rano Karno Dapil Banten III Partai PDIP   Yohanis Fransiskus Lema Dapil NTT II Partai PDIP   Emanuel Melkiades Laka Lena Dapil NTT II Partai Golkar   Rudy Mas'ud Dapil Kaltim Partai Golkar   Hasnuyardi Sulaiman Dapil Kalsel II Partai Golkar   Agustiar Sabran Dapil Kalteng Partai PDIP   Nadalsyah Dapil Kalteng Partai Demokrat   Suhardi Duka Dapil Sulbar Partai Demokrat   Anwar Hafid Dapil Sulteng Partai Demokrat   Tina Nur Alam Dapil Sultra Partai NasDem   Fatmawati Rusdi Dapil Sulsel I Partai NasDem   Hendrik Lewerissa Dapil Maluku Partai Gerindra   Benhur Tomi Mano Dapil Papua Partai PDIP   Wempi Wetipo Dapil Papua Peg. Partai PDIP Terlepas dari alasan pengunduran diri caleg terpilih, banyaknya kasus pengunduran diri ini menggambarkan pelemahan suara pemilih, yang pada gilirannya, merupakan pelemahan kedaulatan rakyat. Dalam beberapa kasus, pengunduran diri dilatarbelakangi kepentingan Partai Politik. Dalam kasus lain, pengunduran diri caleg terpilih merupakan pilihan oportunis caleg untuk memperoleh jabatan kepala daerah. Kedua kasus ini sama-sama berkontradiksi dengan sistem daftar terbuka dan menegasikan suara konstituen yang diwakilinya. Putusan MK sebagai Penguatan Sistem Proporsional Terbuka Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 176/PUU-XXII/2024 yang dibacakan tanggal 21 Maret 2025,  memutuskan dalam amar putusannya bahwa Pasal 426 ayat (1) huruf b tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum”. Dengan Putusan ini, caleg terpilih tidak lagi dapat mengundurkan diri kecuali dengan alasan penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum. Contoh jabatan negara yang tidak melalui pemilihan umum adalah menteri, duta besar, atau pejabat negara/pejabat publik lainnya. Caleg terpilih tidak dapat lagi mengundurkan diri karena masalah internal Partai Politik misalnya, atau hendak mencalonkan diri dalam Pilkada. Putusan MK ini tentu saja memperkuat posisi konstituen untuk menempatkan wakilnya, yang telah dipilih secara langsung dalam sistem daftar terbuka, di parlemen. Namun di luar persoalan pengunduran diri caleg terpilih, sesungguhnya masih terdapat pertanyaan yang harus kita cari jawabannya. Nyatanya, masih terdapat celah hukum dimana suara pemilih dalam sistem daftar terbuka dapat terdistorsi, untuk menyebut beberapa di antaranya adalah: Pengunduran diri anggota Legislatif masih bisa dilakukan, terutama terkait ketentuan conflict of interest dalam Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Keadaan tidak lagi memenuhi syarat sesuai Pasal 426 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, misalnya adanya mekanisme internal Partai Politik dimana yang bersangkutan dapat dikeluarkan dari keanggotaan Partai Politik.

Etika dalam Penyelenggaraan Pemilu

Oleh : Dwi Rindra T, S.I.P. Undang-undang telah menegaskan Lembaga Penyelenggara Pemilu terdiri atas 3 (tiga) lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketentuan Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Frasa “suatu komisi pemilihan umum” yang disebutkan dalam konstitusi tersebut diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi Penyelenggara Pemilu adalah Lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu. Hal ini ditegaskan pula dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 11/PUU-VIII/2010, bahwa di dalam pertimbangannya, menurut MK frasa “suatu komisi pemilihan umum” tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi merujuk pada fungsi penyelenggaraan Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sebagai satu kesatuan fungsi, ketiga lembaga tersebut dibagi tugas yang berbeda dalam Penyelenggaraan Pemilu. KPU bertugas untuk melaksanakan Pemilu. Bawaslu bertugas untuk mengawasi Penyelenggaraan Pemilu. DKPP bertugas untuk menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, yang dalam hal ini adalah KPU, Bawaslu, dan DKPP itu sendiri. Tugas-tugas dalam pelaksanaan, pengawasan, dan penanganan pelanggaran kode etik tersebut tidak dimaksudkan untuk membentuk hierarki, bahwa DKPP lebih superior daripada KPU dan Bawaslu dikarenakan fungsinya sebagai suatu peradilan etik, atau Bawaslu lebih superior daripada KPU karena fungsinya sebagai pengawas, misalnya. Sebagai satu kesatuan fungsi, hubungan ketiga lembaga ini lebih tepat dipandang sebagai hubungan check and balances. Dalam prakteknya, DKPP sebagai fungsi penanganan pelanggaraan kode etik Penyelenggara Pemilu lebih spesifik pada subjek yang disasar, yakni sikap dan perilaku Anggota KPU dan Anggota Bawaslu dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajibannya sebagai Penyelenggara Pemilu. Apakah sesuai dengan kode etik Penyelenggara Pemilu atau tidak, apakah sudah sesuai dengan prinsip Penyelenggara Pemilu yang mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif, dan efisien atau tidak. Lebih lanjut, dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, kode etik Penyelenggara Pemilu didefinisikan tidak hanya terbatas pada prinsip Penyelenggara Pemilu, namun juga harus berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, Etika Kehidupan Berbangsa sebagaimana Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor VI/MPR/2021, sumpah/janji Anggota sebagai Penyelenggara Pemilu, serta asas Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Melihat desain Penyelenggara Pemilu yang terdiri atas 3 (tiga) fungsi di atas, kita menaruh harapan besar akan masa depan tegaknya demokrasi Indonesia, yang bermula dari sistem yang membentuk kemandirian, integritas, dan kredibilitas lembaga Penyelenggara Pemilu. Namun di luar semua hal ideal dan normatif tersebut, timbul pertanyaan yang mendasar, apakah kita dapat meletakkan harapan kita pada hal-hal yang sangat subyektif terkait etika? Apakah Anggota DKPP, Anggota Bawaslu, dan Anggota KPU selaku individu benar-benar terbebas dari suatu kepentingan yang berpotensi melanggar etika atau sekadar terbebas dari galat dalam melakukan tugasnya? Konsep Penegakan Etika Penyelenggara Pemilu Etika adalah konsep yang abstrak antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, konsep ini berusaha dimanifestasikan ke dalam wujud yang lebih konkrit dalam suatu norma-norma hukum. Batasan yang luas sampai mana hal abstrak berupa etika diwujudkan dalam norma hukum positif tentu akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Misalnya kita dapat mengatakan bahwa suatu pelanggaran hukum tentu merupakan pelanggaran etika, namun pelanggaran etika belum tentu merupakan pelanggaran hukum. Istilah yang sering ditemui dalam hukum acara pada lembaga peradilan diterapkan pula dalam Undang-undang Pemilu dalam penanganan pelanggaran kode etik oleh DKPP, seperti persidangan dan putusan, serta sifat final dan mengikat. Dengan demikian, sudah jelas bahwa eksistensi DKPP memang dimaksudkan sebagai suatu pengadilan yang memutus perkara etika Penyelenggara Pemilu. Mengutip Jimly Asshiddiqie (dalam Bunga Rampai Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, Jakarta: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, 2015), bahwa: “Pengaitan ide positivisasi dan fungsionalisasi etika dengan fungsi peradilan juga terkait dengan kesetaraan dan kemitraan antara kedua sistem norma hukum dan etika. Dalam sistem hukum dikenal adanya prinsip ‘rule of law’ yang terdiri atas perangkat ‘code of law’ dan ‘court of law’. Karena itu, dalam sistem etika juga perlu kita perkenalkan adanya pengertian tentang ‘rule of ethics’ yang terdiri atas perangkat ‘code of ethics’ dan ‘court of ethics’. Kekaburan Batas antara Etika dan Hukum Positif Undang-undang Pemilu membagi pelanggaran/perkara hukum dalam Penyelenggaraan Pemilu ke dalam beberapa kategori, yakni pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, pelanggaran administratif Pemilu, dan tindak pidana Pemilu. Ada pula termasuk dalam hukum positif adalah sengketa Pemilu, meliputi sengketa proses Pemilu dan sengketa hasil Pemilu. Sudah dikatakan di atas bahwa batas antara etika dan hukum tidak bisa dilihat dengan jelas. Pelanggaran hukum tentu merupakan pelanggaran etika, namun pelanggaran etika belum tentu pelanggaran hukum. Maka dari itu, kita perlu menganalisis perbedaan antara etika dan hukum positif dalam Undang-undang Pemilu. Apa, siapa, dan bagaimana perbedaannya. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu Yang menjadi lokus utama adalah pelanggaran etika Penyelenggara Pemilu berdasarkan sumpah dan/atau janji sebagai Penyelenggara Pemilu, yang diperluas menjadi prinsip Penyelenggara Pemilu, asas pelaksanaan Pemilu, Pancasila dan UUD 1945, serta Etika Kehidupan Berbangsa. Para aktor yang terlibat adalah: DKPP sebagai pihak yang menangani pelanggaran kode etik, dibantu Tim Pemeriksa Daerah, Pihak yang dapat dilaporkan: anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, PPLN, KPPSLN, Panwaslu LN, PPK, PPS, KPPS, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Desa/Kelurahan, dan Pengawas TPS, Pihak yang dapat menjadi pengadu: Penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu, tim kampanye, Masyarakat, dan/atau pemilih. Metode penyelesaian pelanggaran kode etik dilakukan melalui sidang DKPP. Para pihak dipanggil dengan panggilan pertama dan panggilan kedua, serta dapat memberikan keterangan atau pembelaan dan saksi masing-masing termasuk alat bukti. Pengambilan keputusan dilakukan dengan rapat pleno DKPP. Jenis putusan dapat berupa pemberian sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap, atau rehabilitasi. Sifat putusan adalah final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan Keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN. Upaya banding tidak dijelaskan dalam Undang-undang, namun sesuai dengan Putusan MK Nomor 32/PUU-XIX/2021, upaya hukum dapat dilakukan melalui peradilan tata usaha negara (PTUN). Pelanggaran Administratif Pemilu Lokus utamanya adalah Tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan Penyelenggara Pemilu, tidak termasuk tindak pidana Pemilu atau pelanggaran kode etik, termasuk pelanggaran administratif dalam pelaksanaan Kampanye. Aktor yang terlibat adalah: Sebagai pihak yang menangani perlanggaran adalah Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dengan kapasitas memutus, serta Panwaslu Kecamatan, dengan kapasitas membuat rekomendasi, Pihak yang dapat dilaporkan adalah peserta Pemilu yakni Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Pasangan Calon, serta Penyelenggara Pemilu termasuk sekretaris dan pegawai sekretariat KPU, Selain berdasarkan laporan, pelanggaran administratif juga dapat berawal dari temuan Bawaslu. Metode penyelesaian pelanggaran administratif adalah melalui pemeriksaan oleh Bawaslu yang dilakukan secara terbuka, kajian atas dugaan pelanggaran, dan putusan atas pelanggaran tersebut. Apabila diperlukan, Bawaslu dapat melakukan investigasi. Jenis putusan yang diberikan dapat berupa perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam Penyelenggaraan Pemilu, dan sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang. Putusan Bawaslu tentang pelanggaran administratif wajib ditindaklanjuti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sejak tanggal putusan dibacakan. Jika KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, atau Peserta Pemilu tidak menindaklanjuti Putusan, Bawaslu mengadukan ke DKPP. Upaya banding dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung (MA) dalam waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU yang menindaklanjuti Putusan Bawaslu ditetapkan, dalam hal calon dijatuhi sanksi administatif pembatalan sebagai peserta Pemilu. Tindak Pidana Pemilu Lokus yang ditangani adalah pelanggaran yang termasuk dalam tindak pidana Pemilu. Adapun pihak yang menangani tindak pidana Pemilu adalah badan peradilan yakni pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Metode penyelesaian pelanggaran dilakukan berdasarkan dengan Hukum Acara Pidana, yakni penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan. Sengketa Proses Pemilu Lokus permasalahan yang ditangani adalah sengketa yang timbul antar-Peserta Pemilu dan antara Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota. Aktor yang terlibat adalah: Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai pihak yang menangani sengketa proses Pemilu, Pihak yang bersengketa adalah antar-Peserta Pemilu dan antara Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu, Pihak pemohon adalah calon Peserta Pemilu dan/atau Peserta Pemilu. Metode penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut: Permohonan disampaikan paling lama 3 hari kerja sejak tanggal penetapan Keputusan yang menjadi sebab sengketa, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu, Mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui mediasi atau musyawarah mufakat, Bawaslu menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui adjudikasi jika tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa. Sifat putusan adalah final dan mengikat, kecuali terkait verifikasi Partai Politik, penetapan Daftar Calon Tetap (DCT), dan penetapan Pasangan Calon. Upaya banding dapat disampaikan ke PTUN paling lama 5 (lima) hari kerja setelah dibacakannya putusan Bawaslu, dengan masa perbaikan paling lama 3 (tiga) hari kerja. Putusan PTUN bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Sengketa Hasil Pemilu Lokus yang ditangani adalah sengketa atas perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi atau penetapan Pasangan Calon terpilih. Aktor yang terlibat adalah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang menangani. Hal ini sesuai dengan kewenangan MK yang disebutkan dalam UUD 1945, yakni memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pihak yang dapat menyampaikan permohonan adalah Peserta Pemilu. Metode penyelesaian sengketa hasil Pemilu adalah Permohonan diajukan paling lama 3x24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara secara nasional oleh KPU, dan masa perbaikan paling lama 3x24 jam untuk Peserta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, serta Keberatan diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU. Faktanya dalam Penyelenggaraan Pemilu, banyak aktor lain selain Penyelenggara Pemilu yang terlibat. Masing-masing aktor mendapatkan peran telah jelas diatur dalam Undang-undang, antara peran penegak etik dan peran penegak hukum. Masing-masing aktor berperan sebagai lembaga peradilan atau quasi-peradilan dalam masing-masing lokus yang ditangani. Namun, dalam prakteknya tidak semudah itu. Terjadi tumpang tindih antar lembaga dalam menangani permasalahan pelanggaran. Kadangkala, DKPP memutuskan perkara terkait teknis Penyelenggaraan Pemilu dengan pendekatan etika. Kadangkala, MK memutuskan perkara sengketa tidak hanya terkait hasil Pemilu. Etika sebagai Mahkota Penyelenggara Pemilu Terlepas dari bagaimana efektifnya pembagian peran DKPP sebagai penegak etik Penyelenggara Pemilu, Bawaslu sebagai pengawas Penyelenggaraan Pemilu, dan lembaga peradilan sebagai penegak hukum Pemilu, hal ini tidak menafikan bahwa etika Penyelenggara Pemilu merupakan nilai yang harus menjadi landasan semua aktor yang terlibat dalam Penyelenggaraan Pemilu dalam bertindak. Sampai di sini kita sepakat bahwa nilai etik harus berada di atas semuanya. DKPP, meskipun berwenang menangani pelanggaran kode etik, bukan serta-merta menjadi lembaga tertinggi di antara ketiga lembaga Penyelenggara Pemilu. Dalam prakteknya, DKPP harus tetap netral dan imparsial, dan tidak merasa superior, hanya karena kapasitasnya untuk memutus dugaan pelanggaran kode etik. Bawaslu, yang berwenang menangani pelanggaran administratif Pemilu dan sengketa proses Pemilu haruslah tetap profesional dan proporsional dalam melaksanakan tugasnya. Bawaslu dalam hal ini merupakan pengawal pelaksanaan Pemilu agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali menyangkut pidana Pemilu. Profesional berarti Bawaslu melaksanakan tugasnya dengan optimal agar tidak ada ekses negatif pasca Pemilu. Proporsional berarti Bawaslu harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewenangannya. KPU, sebagai ujung tombak pelaksanaan Pemilu, suatu keniscayaan untuk memegang teguh prinsip kehati-hatian. KPU harus berhati-hati karena, disengaja maupun tidak disengaja, pelanggaran kode etik atau pelanggaran hukum tetap lah suatu pelanggaran yang akan mempengaruhi hasil Pemilu. Asas pelaksanaan Pemilu dan prinsip Penyelenggara Pemilu harus menjadi pedoman dalam seluruh tindakan yang diambil.

Publikasi