Etika dalam Penyelenggaraan Pemilu
Oleh : Dwi Rindra T, S.I.P.
Undang-undang telah menegaskan Lembaga Penyelenggara Pemilu terdiri atas 3 (tiga) lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Ketentuan Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Frasa “suatu komisi pemilihan umum” yang disebutkan dalam konstitusi tersebut diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi Penyelenggara Pemilu adalah Lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu. Hal ini ditegaskan pula dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 11/PUU-VIII/2010, bahwa di dalam pertimbangannya, menurut MK frasa “suatu komisi pemilihan umum” tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi merujuk pada fungsi penyelenggaraan Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Sebagai satu kesatuan fungsi, ketiga lembaga tersebut dibagi tugas yang berbeda dalam Penyelenggaraan Pemilu. KPU bertugas untuk melaksanakan Pemilu. Bawaslu bertugas untuk mengawasi Penyelenggaraan Pemilu. DKPP bertugas untuk menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, yang dalam hal ini adalah KPU, Bawaslu, dan DKPP itu sendiri. Tugas-tugas dalam pelaksanaan, pengawasan, dan penanganan pelanggaran kode etik tersebut tidak dimaksudkan untuk membentuk hierarki, bahwa DKPP lebih superior daripada KPU dan Bawaslu dikarenakan fungsinya sebagai suatu peradilan etik, atau Bawaslu lebih superior daripada KPU karena fungsinya sebagai pengawas, misalnya. Sebagai satu kesatuan fungsi, hubungan ketiga lembaga ini lebih tepat dipandang sebagai hubungan check and balances.
Dalam prakteknya, DKPP sebagai fungsi penanganan pelanggaraan kode etik Penyelenggara Pemilu lebih spesifik pada subjek yang disasar, yakni sikap dan perilaku Anggota KPU dan Anggota Bawaslu dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajibannya sebagai Penyelenggara Pemilu. Apakah sesuai dengan kode etik Penyelenggara Pemilu atau tidak, apakah sudah sesuai dengan prinsip Penyelenggara Pemilu yang mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif, dan efisien atau tidak. Lebih lanjut, dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, kode etik Penyelenggara Pemilu didefinisikan tidak hanya terbatas pada prinsip Penyelenggara Pemilu, namun juga harus berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, Etika Kehidupan Berbangsa sebagaimana Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor VI/MPR/2021, sumpah/janji Anggota sebagai Penyelenggara Pemilu, serta asas Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Melihat desain Penyelenggara Pemilu yang terdiri atas 3 (tiga) fungsi di atas, kita menaruh harapan besar akan masa depan tegaknya demokrasi Indonesia, yang bermula dari sistem yang membentuk kemandirian, integritas, dan kredibilitas lembaga Penyelenggara Pemilu.
Namun di luar semua hal ideal dan normatif tersebut, timbul pertanyaan yang mendasar, apakah kita dapat meletakkan harapan kita pada hal-hal yang sangat subyektif terkait etika? Apakah Anggota DKPP, Anggota Bawaslu, dan Anggota KPU selaku individu benar-benar terbebas dari suatu kepentingan yang berpotensi melanggar etika atau sekadar terbebas dari galat dalam melakukan tugasnya?
Konsep Penegakan Etika Penyelenggara Pemilu
Etika adalah konsep yang abstrak antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, konsep ini berusaha dimanifestasikan ke dalam wujud yang lebih konkrit dalam suatu norma-norma hukum. Batasan yang luas sampai mana hal abstrak berupa etika diwujudkan dalam norma hukum positif tentu akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Misalnya kita dapat mengatakan bahwa suatu pelanggaran hukum tentu merupakan pelanggaran etika, namun pelanggaran etika belum tentu merupakan pelanggaran hukum.
Istilah yang sering ditemui dalam hukum acara pada lembaga peradilan diterapkan pula dalam Undang-undang Pemilu dalam penanganan pelanggaran kode etik oleh DKPP, seperti persidangan dan putusan, serta sifat final dan mengikat. Dengan demikian, sudah jelas bahwa eksistensi DKPP memang dimaksudkan sebagai suatu pengadilan yang memutus perkara etika Penyelenggara Pemilu.
Mengutip Jimly Asshiddiqie (dalam Bunga Rampai Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, Jakarta: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, 2015), bahwa:
“Pengaitan ide positivisasi dan fungsionalisasi etika dengan fungsi peradilan juga terkait dengan kesetaraan dan kemitraan antara kedua sistem norma hukum dan etika. Dalam sistem hukum dikenal adanya prinsip ‘rule of law’ yang terdiri atas perangkat ‘code of law’ dan ‘court of law’. Karena itu, dalam sistem etika juga perlu kita perkenalkan adanya pengertian tentang ‘rule of ethics’ yang terdiri atas perangkat ‘code of ethics’ dan ‘court of ethics’.
Kekaburan Batas antara Etika dan Hukum Positif
Undang-undang Pemilu membagi pelanggaran/perkara hukum dalam Penyelenggaraan Pemilu ke dalam beberapa kategori, yakni pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, pelanggaran administratif Pemilu, dan tindak pidana Pemilu. Ada pula termasuk dalam hukum positif adalah sengketa Pemilu, meliputi sengketa proses Pemilu dan sengketa hasil Pemilu.
Sudah dikatakan di atas bahwa batas antara etika dan hukum tidak bisa dilihat dengan jelas. Pelanggaran hukum tentu merupakan pelanggaran etika, namun pelanggaran etika belum tentu pelanggaran hukum. Maka dari itu, kita perlu menganalisis perbedaan antara etika dan hukum positif dalam Undang-undang Pemilu. Apa, siapa, dan bagaimana perbedaannya.
Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu
Yang menjadi lokus utama adalah pelanggaran etika Penyelenggara Pemilu berdasarkan sumpah dan/atau janji sebagai Penyelenggara Pemilu, yang diperluas menjadi prinsip Penyelenggara Pemilu, asas pelaksanaan Pemilu, Pancasila dan UUD 1945, serta Etika Kehidupan Berbangsa.
Para aktor yang terlibat adalah:
DKPP sebagai pihak yang menangani pelanggaran kode etik, dibantu Tim Pemeriksa Daerah,
Pihak yang dapat dilaporkan: anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, PPLN, KPPSLN, Panwaslu LN, PPK, PPS, KPPS, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Desa/Kelurahan, dan Pengawas TPS,
Pihak yang dapat menjadi pengadu: Penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu, tim kampanye, Masyarakat, dan/atau pemilih.
Metode penyelesaian pelanggaran kode etik dilakukan melalui sidang DKPP. Para pihak dipanggil dengan panggilan pertama dan panggilan kedua, serta dapat memberikan keterangan atau pembelaan dan saksi masing-masing termasuk alat bukti. Pengambilan keputusan dilakukan dengan rapat pleno DKPP.
Jenis putusan dapat berupa pemberian sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap, atau rehabilitasi.
Sifat putusan adalah final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan Keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN.
Upaya banding tidak dijelaskan dalam Undang-undang, namun sesuai dengan Putusan MK Nomor 32/PUU-XIX/2021, upaya hukum dapat dilakukan melalui peradilan tata usaha negara (PTUN).
Pelanggaran Administratif Pemilu
Lokus utamanya adalah Tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan Penyelenggara Pemilu, tidak termasuk tindak pidana Pemilu atau pelanggaran kode etik, termasuk pelanggaran administratif dalam pelaksanaan Kampanye.
Aktor yang terlibat adalah:
Sebagai pihak yang menangani perlanggaran adalah Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dengan kapasitas memutus, serta Panwaslu Kecamatan, dengan kapasitas membuat rekomendasi,
Pihak yang dapat dilaporkan adalah peserta Pemilu yakni Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Pasangan Calon, serta Penyelenggara Pemilu termasuk sekretaris dan pegawai sekretariat KPU,
Selain berdasarkan laporan, pelanggaran administratif juga dapat berawal dari temuan Bawaslu.
Metode penyelesaian pelanggaran administratif adalah melalui pemeriksaan oleh Bawaslu yang dilakukan secara terbuka, kajian atas dugaan pelanggaran, dan putusan atas pelanggaran tersebut. Apabila diperlukan, Bawaslu dapat melakukan investigasi.
Jenis putusan yang diberikan dapat berupa perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam Penyelenggaraan Pemilu, dan sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang.
Putusan Bawaslu tentang pelanggaran administratif wajib ditindaklanjuti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sejak tanggal putusan dibacakan. Jika KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, atau Peserta Pemilu tidak menindaklanjuti Putusan, Bawaslu mengadukan ke DKPP.
Upaya banding dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung (MA) dalam waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU yang menindaklanjuti Putusan Bawaslu ditetapkan, dalam hal calon dijatuhi sanksi administatif pembatalan sebagai peserta Pemilu.
Tindak Pidana Pemilu
Lokus yang ditangani adalah pelanggaran yang termasuk dalam tindak pidana Pemilu.
Adapun pihak yang menangani tindak pidana Pemilu adalah badan peradilan yakni pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
Metode penyelesaian pelanggaran dilakukan berdasarkan dengan Hukum Acara Pidana, yakni penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.
Sengketa Proses Pemilu
Lokus permasalahan yang ditangani adalah sengketa yang timbul antar-Peserta Pemilu dan antara Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Aktor yang terlibat adalah:
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai pihak yang menangani sengketa proses Pemilu,
Pihak yang bersengketa adalah antar-Peserta Pemilu dan antara Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu,
Pihak pemohon adalah calon Peserta Pemilu dan/atau Peserta Pemilu.
Metode penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:
Permohonan disampaikan paling lama 3 hari kerja sejak tanggal penetapan Keputusan yang menjadi sebab sengketa,
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu,
Mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui mediasi atau musyawarah mufakat,
Bawaslu menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui adjudikasi jika tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa.
Sifat putusan adalah final dan mengikat, kecuali terkait verifikasi Partai Politik, penetapan Daftar Calon Tetap (DCT), dan penetapan Pasangan Calon.
Upaya banding dapat disampaikan ke PTUN paling lama 5 (lima) hari kerja setelah dibacakannya putusan Bawaslu, dengan masa perbaikan paling lama 3 (tiga) hari kerja. Putusan PTUN bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
Sengketa Hasil Pemilu
Lokus yang ditangani adalah sengketa atas perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi atau penetapan Pasangan Calon terpilih.
Aktor yang terlibat adalah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang menangani. Hal ini sesuai dengan kewenangan MK yang disebutkan dalam UUD 1945, yakni memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pihak yang dapat menyampaikan permohonan adalah Peserta Pemilu.
Metode penyelesaian sengketa hasil Pemilu adalah Permohonan diajukan paling lama 3x24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara secara nasional oleh KPU, dan masa perbaikan paling lama 3x24 jam untuk Peserta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, serta Keberatan diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.
Faktanya dalam Penyelenggaraan Pemilu, banyak aktor lain selain Penyelenggara Pemilu yang terlibat. Masing-masing aktor mendapatkan peran telah jelas diatur dalam Undang-undang, antara peran penegak etik dan peran penegak hukum. Masing-masing aktor berperan sebagai lembaga peradilan atau quasi-peradilan dalam masing-masing lokus yang ditangani. Namun, dalam prakteknya tidak semudah itu. Terjadi tumpang tindih antar lembaga dalam menangani permasalahan pelanggaran. Kadangkala, DKPP memutuskan perkara terkait teknis Penyelenggaraan Pemilu dengan pendekatan etika. Kadangkala, MK memutuskan perkara sengketa tidak hanya terkait hasil Pemilu.
Etika sebagai Mahkota Penyelenggara Pemilu
Terlepas dari bagaimana efektifnya pembagian peran DKPP sebagai penegak etik Penyelenggara Pemilu, Bawaslu sebagai pengawas Penyelenggaraan Pemilu, dan lembaga peradilan sebagai penegak hukum Pemilu, hal ini tidak menafikan bahwa etika Penyelenggara Pemilu merupakan nilai yang harus menjadi landasan semua aktor yang terlibat dalam Penyelenggaraan Pemilu dalam bertindak. Sampai di sini kita sepakat bahwa nilai etik harus berada di atas semuanya.
DKPP, meskipun berwenang menangani pelanggaran kode etik, bukan serta-merta menjadi lembaga tertinggi di antara ketiga lembaga Penyelenggara Pemilu. Dalam prakteknya, DKPP harus tetap netral dan imparsial, dan tidak merasa superior, hanya karena kapasitasnya untuk memutus dugaan pelanggaran kode etik.
Bawaslu, yang berwenang menangani pelanggaran administratif Pemilu dan sengketa proses Pemilu haruslah tetap profesional dan proporsional dalam melaksanakan tugasnya. Bawaslu dalam hal ini merupakan pengawal pelaksanaan Pemilu agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali menyangkut pidana Pemilu. Profesional berarti Bawaslu melaksanakan tugasnya dengan optimal agar tidak ada ekses negatif pasca Pemilu. Proporsional berarti Bawaslu harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewenangannya.
KPU, sebagai ujung tombak pelaksanaan Pemilu, suatu keniscayaan untuk memegang teguh prinsip kehati-hatian. KPU harus berhati-hati karena, disengaja maupun tidak disengaja, pelanggaran kode etik atau pelanggaran hukum tetap lah suatu pelanggaran yang akan mempengaruhi hasil Pemilu. Asas pelaksanaan Pemilu dan prinsip Penyelenggara Pemilu harus menjadi pedoman dalam seluruh tindakan yang diambil.