Pengunduran Diri Caleg Terpilih

Oleh : Dwi Rindra T, S.I.P.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 176/PUU-XXII/2024: Upaya penguatan sistem Pemilu proporsional terbuka

Sistem Pemilu yang digunakan di berbagai negara di dunia beragam macamnya seperti dijelaskan dalam buku Perihal Pemilu (Pamungkas, Sigit, Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2009). Setidaknya terdapat 4 (empat) kelompok besar sistem Pemilu, yakni sistem pluralitas/mayoritas atau biasa disebut juga sistem distrik, sistem proporsional, sistem campuran, dan sistem lainnya (yang tidak termasuk ke dalam ketiga kelompok sistem lainnya). Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya, serta rasionalitasnya tersendiri untuk diterapkan dalam suatu Pemilu oleh suatu negara tertentu. Apakah suatu negara lebih mengedepankan tingkat proporsionalitas representasi, atau bagaimana sistem kepartaian yang akan terbentuk dari sistem Pemilu tersebut, bagaimana format kabinet yang akan dibentuk, dan sebagainya.

Indonesia telah memilih sistem Pemilu legislatif untuk mengedepankan tingkat proporsionalitas representasi antar Partai Politik dalam parlemen. Hal ini jelas tertulis dalam regulasi, yakni ketentuan Pasal 168 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi,

“Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.”

Lebih lanjut, metode untuk menentukan perolehan kursi Partai Politik menggunakan teknik Sainte Lague, sebagaimana bunyi Pasal 415 ayat (2) dan ayat (3),

‘(2) Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganji 3; 5; 7; dan seterusnya.

(3) Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, suara sah setiap partai politik dibagi dengan bilangan pembag 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya.”

Dengan demikian, telah jelas bahwa kita ingin membentuk parlemen, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang dapat merepresentasikan seluruh kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat, melalui Partai Politik, sekecil apapun perolehan suaranya.

Sistem Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka

Sistem proporsional yang mengedepankan terbentuknya parlemen yang representatif akan seluruh kepentingan, diterapkan dengan daftar calon terbuka. Ini berarti Pemilih dapat memilih secara langsung calon anggota legislatif yang merepresentasikannya di parlemen. Pemilih masih dapat memilih Partai Politik, dan metode penghitungan perolehan kursi masih menggunakan perolehan suara Partai Politik, namun metode penentuan calon terpilih tidak ditentukan oleh Partai Politik melainkan berdasarkan peringkat perolehan suara calon.

Jika hendak dibandingkan, sistem ini tentu saja berbeda dengan Pemilu-pemilu masa Orde Baru maupun Pemilu 1999. Pemilu-pemilu pada masa Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) menggunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar mengikat (proporsional tertutup). Dalam sistem ini, Pemilih tidak dapat memilih calon secara langsung, melainkan memilih Partai Politik (pada saat itu disebut organisasi sosial politik). Penentuan perolehan kursi Partai Politik di parlemen ditentuan berdasarkan perolehan suara Partai Politik, namun penentuan calon terpilih dilakukan oleh mekanisme internal Partai Politik berdasarkan daftar calon yang telah diurutkan berdasarkan penilaian Partai Politik (melalui penelitian khusus/litsus). Idealnya, Partai Politik menentukan urutan daftar calon dengan melihat prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela (PDLT), namun hal ini tidak selalu terjadi. Prakteknya, mekanisme litsus lebih merupakan jaring untuk calon loyalis Orde Baru.

Berbeda lagi dalam Pemilu 1999. Dalam Pemilu 1999, sistem Pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional dengan stelsel daftar. Dalam sistem ini, Pemilih masih hanya memilih Partai Politik, bukan memilih calon, namun daftar calon diumumkan secara terbuka di setiap TPS. Metode untuk menentukan perolehan kursi Partai Politik masih berdasarkan perolehan suara, namun penentuan calon terpilih tidak lagi berdasarkan nomor urut dalam daftar calon. Penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan perolehan suara Partai Politik pada daerah pemilihan dimana calon didaftarkan. Artinya, seorang calon dapat terpilih meskipun berada pada urutan bawah dalam daftar calon, jika di Dapilnya memperoleh suara besar dibandingkan perolehan suara di Dapil lain.

Sistem Pemilu 1999 dapat disebut sebagai semi-terbuka karena tidak lagi ditentukan melalui litsus Partai Politik, namun juga tidak secara langsung ditentukan oleh Pemilih. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem proporsional terbuka yang digunakan pada Pemilu 2004 hingga Pemilu terakhir merupakan hasil evaluasi dari Pemilu 1999, sehingga Pemilih dapat langsung memilih calon dan penentuan calon terpilih langsung terkait dengan perolehan suaranya. Dengan sistem ini, suara Pemilih secara langsung direpresentasikan kepada calon legislatif yang dipilih. Partai Politik, pada taraf tertentu, tidak dapat menentukan siapa yang akan menjadi anggota legislatif. Meskipun pada sistem proporsional terbuka tidak lagi mampu merepresentasikan suara Partai Politik kecil, namun pada prakteknya terjadi penyederhanaan terhadap kerumitan teknis dan substantif yang ada pada stembus accord.

Pengunduran Diri Caleg Terpilih sebagai Kontradiksi Prinsip Terbuka

Tidak ada metode penentuan calon terpilih yang paling baik, apakah daftar tertutup maupun daftar terbuka, masing-masing memiliki rasionalitasnya. Sistem stelsel daftar mengikat (proporsionalitas tertutup) lebih memudahkan Partai Politik dalam mengelola kaderisasi. Namun di sisi lain, kewenangan Partai Politik yang terlalu besar dalam menentukan calon terpilih menjadi pisau bermata dua. Sistem stelsel daftar memperkuat hubungan antara legislatif dengan konstituennya, meskipun tidak cukup kuat. Sistem daftar terbuka memungkinkan Pemilih untuk memberikan preferensi politiknya terhadap calon tertentu, sehingga calon terpilih langsung merepresentasikan konstituennya.

Perjalanan panjang Pemilu kita, sejak Pemilu pertama 1955, Pemilu masa Orde Baru, hingga Pemilu terakhir saat ini, telah memberikan banyak evaluasi hingga saat ini kita memilih sistem proporsional terbuka. Secara implisit, kita ingin membentuk parlemen yang lebih dekat dengan kepentingan konstituen daripada kepentingan Partai Politik. Bahkan, Mahkamah Konstitusi beberapa kali memutuskan bahwa sistem Pemilu yang konstitusional adalah sistem proporsional terbuka yang menegaskan hubungan konstituen dengan wakilnya sebagai kedaulatan rakyat (Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022).

Pengunduran diri caleg terpilih diatur dalam ketentuan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, yang berbunyi,

“Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan mengundurkan diri.”

Secara faktual, pada Pemilu 2024, terdapat beberapa kasus pengunduran caleg terpilih, antara lain:

No

Nama Caleg Terpilih

Daerah Pemilihan

Partai Politik

  1.  

Ratu Ngadu Bonu Wulla

Dapil NTT II

Partai NasDem

  1.  

Sri Rahayu dan Arteria Dahlan

Dapil Jatim VI

Partai PDIP

  1.  

Akhmad Ridwan

Dapil Jateng 13

Partai PDIP

  1.  

Syamsuar

Dapil Riau I

Partai Golkar

  1.  

Abdul Wahid

Dapil Riau II

Partai PKB

  1.  

Airin Rachmi Diany

Dapil Banten III

Partai Golkar

  1.  

Dedi Mulyadi

Dapil Jabar VII

Partai Gerindra

  1.  

Ahmad Syaikhu

Dapil Jabar VII

Partai PKS

  1.  

Rano Karno

Dapil Banten III

Partai PDIP

  1.  

Yohanis Fransiskus Lema

Dapil NTT II

Partai PDIP

  1.  

Emanuel Melkiades Laka Lena

Dapil NTT II

Partai Golkar

  1.  

Rudy Mas'ud

Dapil Kaltim

Partai Golkar

  1.  

Hasnuyardi Sulaiman

Dapil Kalsel II

Partai Golkar

  1.  

Agustiar Sabran

Dapil Kalteng

Partai PDIP

  1.  

Nadalsyah

Dapil Kalteng

Partai Demokrat

  1.  

Suhardi Duka

Dapil Sulbar

Partai Demokrat

  1.  

Anwar Hafid

Dapil Sulteng

Partai Demokrat

  1.  

Tina Nur Alam

Dapil Sultra

Partai NasDem

  1.  

Fatmawati Rusdi

Dapil Sulsel I

Partai NasDem

  1.  

Hendrik Lewerissa

Dapil Maluku

Partai Gerindra

  1.  

Benhur Tomi Mano

Dapil Papua

Partai PDIP

  1.  

Wempi Wetipo

Dapil Papua Peg.

Partai PDIP

Terlepas dari alasan pengunduran diri caleg terpilih, banyaknya kasus pengunduran diri ini menggambarkan pelemahan suara pemilih, yang pada gilirannya, merupakan pelemahan kedaulatan rakyat. Dalam beberapa kasus, pengunduran diri dilatarbelakangi kepentingan Partai Politik. Dalam kasus lain, pengunduran diri caleg terpilih merupakan pilihan oportunis caleg untuk memperoleh jabatan kepala daerah. Kedua kasus ini sama-sama berkontradiksi dengan sistem daftar terbuka dan menegasikan suara konstituen yang diwakilinya.

Putusan MK sebagai Penguatan Sistem Proporsional Terbuka

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 176/PUU-XXII/2024 yang dibacakan tanggal 21 Maret 2025,  memutuskan dalam amar putusannya bahwa Pasal 426 ayat (1) huruf b tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum”.

Dengan Putusan ini, caleg terpilih tidak lagi dapat mengundurkan diri kecuali dengan alasan penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum. Contoh jabatan negara yang tidak melalui pemilihan umum adalah menteri, duta besar, atau pejabat negara/pejabat publik lainnya. Caleg terpilih tidak dapat lagi mengundurkan diri karena masalah internal Partai Politik misalnya, atau hendak mencalonkan diri dalam Pilkada. Putusan MK ini tentu saja memperkuat posisi konstituen untuk menempatkan wakilnya, yang telah dipilih secara langsung dalam sistem daftar terbuka, di parlemen.

Namun di luar persoalan pengunduran diri caleg terpilih, sesungguhnya masih terdapat pertanyaan yang harus kita cari jawabannya. Nyatanya, masih terdapat celah hukum dimana suara pemilih dalam sistem daftar terbuka dapat terdistorsi, untuk menyebut beberapa di antaranya adalah:

  1. Pengunduran diri anggota Legislatif masih bisa dilakukan, terutama terkait ketentuan conflict of interest dalam Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016
  2. Keadaan tidak lagi memenuhi syarat sesuai Pasal 426 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, misalnya adanya mekanisme internal Partai Politik dimana yang bersangkutan dapat dikeluarkan dari keanggotaan Partai Politik.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 418 Kali.