
Membaca Kembali From Voting To Violence-Nya Jack Snyder: Dari Konflik Nasionalis Ke Populisme Kanan
Oleh: Subhan Purno Aji
Meninjau buku lama untuk audien masa kini jelas menghadirkan tantangan tersendiri. Masalahnya, belum tentu isi buku sesuai dengan ruang dan waktu saat ini. Inilah yang Saya rasakan ketika membaca ulang buku karya Jack Snyder (Snyder, 2003), “From Voting to Violece: Democratization and Nationalist Conflict”, yang versi bahasa Indonesianya menjadi “Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah” (Kepustakaan Populer Gramedia [KPG]: 2003).
Karena ini buku lama, maka Saya dituntut harus punya sense untuk menangkap isi buku lalu mengkontekstualisasikannya dengan kondisi saat ini. Tujuannya agar para pembaca ‘ngeh’ dengan buku yang ditinjau, terlebih apabila ditulis untuk tujuan yang lebih populer bukan hanya untuk komunitas akademik.
Salah Kaprah Demokrastisasi
Menurut Saya yang paling penting dari buku Snyder ini adalah ia mewanti-wanti untuk jangan terburu-buru menerapkan demokratisasi di sebuah negara jika komponen-komponen lainnya tidak siap. Pengalaman munculnya apa yang ia disebut sebagai “konflik nasionalis”, yakni “kerusuhan besar-besaran yang terorganisasi yang didorong atau diabsahkan dengan doktrin nasionalisme” (hlm. 13), yang ditakutkan akan menggagalkan proyek demokratisasi yang tujuannya baik. Tema inilah yang dibahas oleh Snyder pada sebagaian besar isi buku ini.
Dengan demikian, dalam keseluruhan buku ini Snyder ingin membantah anggapan yang banyak diamini oleh banyak orang, terutama setelah runtuhnya Uni Sovyet, bahwa demokrasi liberal adalah satu-satunya resep yang manjur atas semua problem pengaturan bernegara, dan bahwa demokrasi adalah pemenang atas segala ideologi dan dunia mendekati “akhir sejarah”. Menurut anggapan salah kaprah-kesalahan yang dinormalisasi terus menerus sehingga seolah sebagai kebenearan- itu, konflik dan peperangan, dengan demikian, akan usang dengan sendirinya. Sebab sesama negara demokrasi tak mungkin berperang. Akibatnya, muncul anggapan: “terapkan saja demokrasi, maka dengan sendirinya apa saja yang baik akan datang dengan sendirinya”.
Celakanya, anggapan-anggapan keblinger itu menjadi dasar kebijakan dari banyak pemimpin negara besar dan lembaga-lembaga internasional. Resep standar, seperti dibukanya kran kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan jurdil, pembebasan tahanan politik, harus diterapkan di setiap negara yang mau beranjak ke demokrasi. Tak peduli karakter struktur sosial, politik, budaya dan historis yang berbeda-beda di setiap negara dan masyarakat, resep itu tetap harus diterapkan. Terbukti, kata Snyder, resep power sharing (pembagian kekuasaan) yang menjadi dasar kebijakan demokratisasi di Rwanda dan Burundi di awal 1990-an justru melahirkan bencana kemanusiaan tak terperikan (hlm. 343-355).
Pemilu dan bahaya “Pasar Bebas Ide”
Tesis Snyder sebenarnya sederhana. Hadir dan munculnya tuntutan demokratisasi tidak mungkin menyenangkan seluruh pihak. Menurut Snyder, elit yang terancam kehilangan hak-hak istimewa dan terutama sumber daya inilah menggunakan isu nasionalisme untuk menghadang demokrasi.
Dalam posisi itu, Pemilu seperti membuka kotak pandora, yang entah menghasilkan transisi yang berhasil atau sebaliknya membawa sebuah negara ke jurang kehancuran. Di sana Pemilu dijadikan arena pasar bebas, termasuk digunakan oleh elit yang terancam akan kehilangan kuasa dan sumber daya. Dalam pasar bebas ide dalam Pemilu inilah isu-isu nasionalisme ekslusifis dapat berkembang dan bertemu dengan ceruk pasar pemilih yang sedang mencari sandaran nilai-nilai baru dalam tatanan demokrasi. Bila tak dikelola dengan baik, apa yang menjadi judul dari buku Snyder ini, Pemilu dapat berubah dari pemungutan suara menjadi pertumpahan darah dan perang saudara.
Dalam konteks itu, elit yang masih memiliki sumber daya yang besar dapat menggunakan propaganda-propaganda nasionalisme eksklusif untuk membangkitkan sentimen-sentimen primordial seperti ras, agama, bahasa, sejarah sosial dan sejenisnya untuk menggalang kekuatan massa membendung tuntutan demokratisasi. Melalui doktrin-doktrin itu, mereka mendefinisikan tujuan agung kemana negara harus diarahkan sekaligus mengkambinghitamkan kelompok-kelompok sosial tertentu. Sialnya lagi, elit dapat saja membajak kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang baru saja dibuka dalam iklim demokratisasi.
Mereka lihai menggunakan kesempatan itu karena memiliki modal dan kuasa yang masih besar. Dalam situasi demokratisasi yang kerap disusul situasi kolaps, labil, kritis dan paceklik ekonomi itu ‘penawaran’ ide-de nasionalisme eksklusif itu klop dengan ‘permintaan’ ide massa yang sedang butuh jawaban singkat dan masuk akal dari situasi yang serba-tak pasti itu. ‘Pasar bebas ide’ itulah yang diwanti-wanti oleh Snyder untuk dikelola dengan sangat baik.
Populisme Kanan dan Kemunduran Demokrasi
Temuan dan nasehat Snyder tentang bahaya munculnya konflik nasionalis dan jebakan-jebakan batman yang inhern dalam demokratisasi memang ditujukan kepada negara-negara yang sedang memulai fase transisi (baca: NSMD [Negara Sedang Menuju Demokrasi]). Tetapi jika melihat tren saat ini, nasehatnya tidak hanya cocok di NSMD tetapi juga cocok di negara-negara demokrasi mapan.
Saat ini banyak di negara-negara yang dianggap kampiun demokrasi malah mengidap penyakit kronis, yaitu munculnya politisi demagogis yang kerap menyuarakan propagada-propaganda rasialis, ekslusifis, seksis, anti-globalisasi dan propaganda khas politisi kanan lainnya. Situasi itu setidaknya terjadi di Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Italia.
Yang paling kentara jelas di Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump, yang kerap menggunakan retorika khas populis kanan dalam menggaet simpati Pemilih pada Pilres AS 2016 silam. Kampanye pembangunan perbatasan dengan Meksiko, Amerika Serikat yang utama, menjadi jualan yang laku selama masa kampanye yang membelah rakyat Amerika secara sangat tajam. Hal itu ditambah dengan penggunaan media sosial yang massif yang menghasilkan disinformasi akut. Orang tak lagi percaya dengan informasi yang diterima atau sebaliknya informasi apa saja diterima mentah-mentah tanpa verifikasi.
Politisi model seperti itu kerap disebut sebagai politisi populis, yakni politisi yang menggunakan gaya dan langgam seolah mewakili ‘kami kebanyakan’ dari masyarakat dan umumnya diikuti dengan mempertentangkan dengan ‘yang lain’. Karena yang digunakan adalah retorika dan seruan-seruan yang mewakili ‘yang banyak’ dari sisi apa saja (agama, ras, warna kulit, bahasa), maka cenderung mengikis nilai-nilai liberal yang menghormati keragaman, nilai-nilai kebebasan dan hak-hak sipil lainnya. Sialnya, inilah yang sedang menjadi tren dunia. Dengan retorika-retorika nativis (penonjolan keunggulan ras, dan ‘keaslian’ dan ‘keotentikan’ kelompok tertentu) pemimpin politik dapat memobilisasi pemilih saat kampanye. Dan akhirnya banyak pemimpin model inilah yang terpilih.
Munculnya fenomena populisme di atas, tidak hanya diakibatkan dari krisis ekonomi yang menyebabkan keterpurukan ekonomi, tetapi juga dapat dianggap sebagai serangan balik budaya (cultural backlash) terhadap nilai-nilai, seperti multikulturalisme, kosmopolitanisme, feminisme yang menghormati keragaman dan nilai-nilai liberal lain (Norris & Inglehart, 2019). Pemilih yang sedang menghadapi kesusahan ekonomi akibat krisis, cenderung berlabuh pada nilai-nilai konservatif yang mereka anut, seperti keluhuran keluarga, nasionalisme, dan agama. Maka, kesempatan inilah yang digunakan politisi demagagois untuk meraih simpati dengan seruan-seruan khasnya.
Selanjutnya banyak dari para populis kanan itu setelah terpilih, cenderung menyerang nilai-nilai dan lembaga-lembaga penyangga demokrasi. Maka, wajar jika secara global demokrasi sedang menghadapi serangan balik dari model populisme autoritarian ini. Mereka terpilih secara demokratis dalam Pemilu, tetapi menyerang balik lembaga-lembaga demokrasi.
Sebagai akhir, memang terlalu jauh mengaitkan kekhawatiran Snyder dalam buku ini dengan munculnya populisme kanan yang cenderung otoritarian saat ini. Tetapi model propaganda yang digunakan dalam ‘pasar bebas ide’ cenderung serupa, yakni mengobarkan seruan-seruan eksklusif untuk menyerang kelompok-kelompok yang dicap ‘musuh’ masyarakat. Ini bisa berbahaya jika sampai pada eskalasi yang dapat menyulut konflik fisik. Bukan tidak mungkin fenomena politik populisme kanan akan mengulang sejarah konflik yang sebenarnya berakar pada primordialisme, sama seperti apa yang disebut Snyder sebagai nasionalisme eksklusif. (SPA)
Daftar Pustaka
Norris, P., & Inglehart, R. (2019). Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism. Cambridge University Press.
Snyder, J. (2003). Dari Pemilu ke Pertumpahan Darah: Demokrasi dan Konflik Nasionalis. KPG.